Langsung ke konten utama

INTRODUCING ME


Note : Novel pertama yang gue kirim ke Gramedia dan menjadi novel pertama gue yang di tolak juga.
Never give up laah!



Setiap kali Uti melihat ke arah gitar tuanya, ia tersenyum. Terutama hari ini, ia akan memulai hidup di sekolah baru. Setelah ia ‘dianggap’ dewasa oleh kedua orang tuanya, ia langsung diboyong pulang dari negeri Jepang. Selama masa ‘karantina’ di sana, Uti mengalami petualangan asyik sekaligus menguras hati. Benar-benar harus bisa selamat tanpa bantuan orang tua.



Sekembalinya ke Jakarta, ia harus menuruti perintah Mamanya untuk masuk SMA umum. Menggilas habis ambisi Uti untuk masuk ke sekolah musik. Tapi tak apa, ia sadar selama ini sudah banyak merepotkan sang Mama. Toh mengalah sedikit tidak akan membuatnya mati. Gadis itu menghela nafas. Memperhatikan dirinya yang mengenakan seragam di dalam kaca. Setelah yakin sudah rap ia berjalan keluar dari kamarnya.



“Mulai masuk hari ini ya Ti. Kamu bawa mobil Mama gih, biar banyak yang lirik.” Goda Mama Lily ketika Uti menuruni tangga menuju lantai 1.



“Nggak deh Ma. Anak SMA dilarang bawa mobil. Ntar malah bikin kota macet ini tambah mampet.” Cewek berambut sebahu itu melahap sandwich mini isi keju+kornet bulat-bulat. Mama Lily tertawa kecil. “ Duh, kamu tuh. Kan kalo bawa mobil kamu bisa dapet temen Ti.”



“Bhukhannya dhapet themen mhalah dhi homelin nthar.” Uti berusaha mendorong masuk kunyahan sandwich yang kedua dengan meminum susu hangat. Setelah merasa plong, ia melanjutkan. “Gara-gara akunya telat lantaran kejebak macet. Udah deh Ma, aku berangkat pake Repsi ajalah. Bye.” Uti mencium punggung tangan Mamanya.


Bye honey, have a nice day.” Balas Mama Lily dengan tatapan pasrah.
***
Uti memarkirkan motor abu-abunya di pelataran parkir SMU Tribuana, SMU elit pilihan Mama Lily. Kemudian alis mata gadis itu mengerut kebawah. Klise banget! Mama Lily bilang Uti harus sekolah di tempat terbaik, supaya bisa jadi lebih baik. Juga berharap gadis itu bisa mendapatkan kisah remaja SMA seperti cerita-cerita di novel atau sinetron. Ohoi! Life is’nt movie,’ rite? Cewek itu ingat tag line salah satu iklan di TV. Kata-katanya ngena banget.

Menurut Uti sendiri sekolah ini tak ada bedanya dengan SMU yang lama. Hanya punya gedung yang lebih besar dan fasilitas yang sangat memadai. Kalau siswa-siswinya sih, siapa yang tahu? Apapun itu, Uti berharap ia bisa mendapatkan apa yang ia cari disini. Life is’nt a movie, but movie has made from story of life. Ia mencoba berpikir positif.

Sambil memegang amplop undangan Uti masuk ke bagian dalam gedung. Mencari ruang administrasi untuk menyerahkan beberapa data dan menyapa kepala bagian TU, yang adalah teman baik almarhumah neneknya.

“Permisi, ibu Juharni? Saya Putri Buaneswari.” Uti menyapa perempuan setengah baya yang sedang menaruh sejumlah kertas di rak absensi.

“Putri! Ya ampun, sudah sebesar ini kamu ya.” Bu Juharni tampak senang melihat Uti. “Gimana keadaan Lily?”

“Mama sehat-sehat saja Bu. Ini data yang kemarin Ibu minta. Mama bilang hari ini saya sudah bisa masuk ke kelas.” Uti memberikan amplop undangan beserta map coklat berisi datanya. Bu Juharni mengangguk sambil memeriksa dokumen di dalam.

“Oke, kita keruang administrasi, setelah raport lamamu di copy kamu boleh masuk kekelas.”

***
Bel masuk berdering nyaring. Suara bel itu mirip dengan bunyi peringatan kedatangan kereta api di stasiun. Bel tersebut juga mengingatkan Uti pada sekolah menengah pertamanya di Jepang dulu. Ia mengekor pada seorang guru berperut tambun. Namanya Pak Sujono, wali kelas IX-IPS 2, kelas yang akan Uti masuki sebagai tempat belajar baru.

“Yak, tenang semua.” Pak Sujono mengetuk-ngetuk papan tulis. Untuk apa ia melakukannya? Toh dari tadi nggak ada yang bersuara. Ujar Uti dalam hati.

“Dia adalah Putri Buaneswari, pindahan dari SMU Jayakarta. kalian harus akur dengannya ya. Nah, Putri kamu bisa duduk di sana.” Pak Sujono menunjuk kursi kosong di samping gadis berambut ikal dikuncir dua. Gadis itu nampak manis dengan tatanan rambut yang aneh. Ia menguncir rambutnya menjadi dua bagian dengan hiasan pita rambut yang sangat besar. Berwarna merah terang pula. Uti jadi ingat hiasan kepala para cosplayers. Sangat nyentrik.

“Hai.” Sapa Uti, meletakan tas selempang ungunya di atas meja.

“Yo.” Balas si rambut ikal. Uti mengangkat alis karena sambutan dari teman sebangkunya sangat cuek. Ia coba untuk tidak terlalu menghiraukannya.

Pak Sujono memulai pelajaran. Seperti yang Uti tebak, beliau mengajar materi ekonomi. Pantas kepalanya setengah botak. Cewek itu tertawa kecil. Hampir jam setengah sepuluh ketika bel berdering lagi, menandakan para siswa sudah bisa beristirahat. Kali ini bunyi belnya seperti ringtone handphone Uti yang lama.- Riinng… riing…-

Uti tak beranjak dari posisi duduknya. Meskipun ada banyak anak yang mengajak ia ngobrol jujur ia lebih tertarik untuk mengorek tentang teman sebangkunya. Makanya secara sopan ia menolak ajakan beberapa teman untuk ke kantin.
    
“Nanti dulu, gue mau periksa materi yang tadi, thanks ajakannya.” Uti tersenyum menolak ajakan Tere dan Mia.
            
“Oke, kalo lo butuh temen untuk keliling bilang aja ke kita-kita ya.” Mia tersenyum sumringah.
            
“Oh iya, nama lo unik deh, Buaneswari. Agak mirip nama pendiri sekolah ini, Pak Buanawara.” Tambah Tere.
            
“Perasaan lo aja kali. Hahaha.” Uti tertawa hambar. Ia jadi ingat tentang nama tambahan yang di buat Mama Lily setibanya ia ke Jakarta beberapa minggu yang lalu. Menurutnya nama ‘Putri’ sudah banyak dipakai dan terlalu umum. Yah, meskipun artinya kuat. Awalnya Uti enggan, tapi akhirnya ia bersedia ditambahi nama ‘Buaneswari’. Itu adalah nama dari mendiang Ibunya Mama lily.
            
“Oke, kalo gitu kita duluan ya.” Mia beranjak pergi.
            
Be carefull.” Tere menyusul setelah mengucapkan dua kata yang tidak dimengerti Uti.
Cewek berwajah oriental itu sedikit mengerling pada gadis berambut ikal yang duduk disamping Uti. Ia diam saja sambil membaca novel misteri yang Uti ketahui buatan Stephanie Mayer.
            
“Lo sengaja nggak ke kantin untuk ngobrol sama gue.” Ucap cewek ikal itu tanpa berhenti melihat buku.
            
“Yap.” Balas Uti tanpa basa-basi. Ia meletakan lengannya di atas meja untuk menyenderkan kepalanya di telapak tangan yang tegap. Kali ini si cewek ikal itu menatap Uti. Ada raut heran disana. “Okee, gue perlu tau siapa nama temen sebangku gue kan? Hai, gue Uti. Nama gue emang Putri Buaneswari, tapi gue lebih suka di panggil Uti. Nah, lo?”
            
Si cewek ikal terdiam sebentar. “Gue Miki.”
            
“Miki Mouse?” potong Uti sembari nyengir. Miki memutar searah kedua bola matanya. “Mikina Hamoko Wibisono. Lo nggak denger dua siluman yang ngajak lo ke kantin itu ngomong apa?” Tambahnya.
            
“Nggak. Yang mana?” Uti menampakkan tampang anak polos.
            
’be carefull’. Jangan pura-pura bego deh, lo pasti ngerti mereka ngomong soal gue.”
            
“Kenapa gue harus ‘hati-hati’.”
            
“Lo tanya aja mereka.”
            
“Kenapa gue harus tanya mereka kalo si ‘narasumber’ ada di depan gue sekarang?”

Miki ternganga. Jujur baru kali ini ia menemukan orang seperti Uti. Cuek, tidak peduli pendapat orang dan… spontan. Karena Miki tak bicara lagi Uti kemudian bangkit.
            
“Bukan bermaksud kepo sih. Gue juga nggak mau maksa-maksa orang yang baru gue kenal untuk cerita. Tapi karena kita temen sebangku kayaknya bagus kalo kita ngobrol-ngobrol tentang sesuatu. Apa aja nggak masalah. Untuk basa-basi itu oke. Tapi yah, karena sekarang gue mulai laper, jadi gue mau ke kantin dulu.” Sambil mengatakan itu Uti tersenyum. Kemudian ia beranjak keluar dari kelas. Meninggalkan Miki yang di dahinya sudah muncul kerut bingung.
            
Suasana Tribuana saat istirahat tak berbeda dari SMU lainya. Hanya saja lebih tertata dan rapih dibandingkan sekolah Uti yang lama. Gadis itu mendesah, ia menuruni tangga gedung satu untuk menuju kantin. Tak ada kemajuan, tak ada yang menarik, belum ada yang bisa ia rekrut.
Semua anak yang ia temui seperti rumah siput yang kosong. Jumlahnya banyak dan sama saja. Ia berjalan terus melewati beberapa koridor, isi kepalanya sedang rumit. Berfikir bagaimana bisa cepat menjalankan rencana besarnya. Rencana yang sudah ia susun dari sebelum masuk ke Tribuana. Saking seriusnya berpikir, ia tak sadar kalau dirinya berpapasan dengan seseorang-atau sekelompok orang- yang penting di sekolah.
Uti tak menyadari kalau sedang di perhatikan oleh seseorang. Karena dari sekian banyak mata hanya mata miliknyalah yang berbeda.
            
“Kenapa Ka?” Seorang cowok yang diketahui bernama Dimas menegur teman dekatnya yang terdiam menatap ke ujung lorong.
            
“Nggak. Cuma… kayaknya ada anak baru yang belom tahu posisi.” Ujar Raka sambil kembali menghadap pada jalurnya.
***
Kantin sangat menakjubkan. Uti sampai bingung, ini kantin sekolah atau restaurant? Menu lengkap empat sehat lima sempurna. Ada bakso, soto mie, soto ayam, siomay, batagor, ayam goreng, masakan padang, masakan sunda, segala jenis juice, bubble, dan lain-lain. Bahkan ada Steak. Steak!? Uti hampir ternganga ketika melihat tenderloin yang sedang dibalik di atas alat pemanggang. Yang keren adalah, di kantin ini, no plastic, no sterofoam, alias semua makanan disajikan dengan piring di atas nampan.
            
“Oke, gue mulai terkesan.” Guman Uti.
            
“Wajar kalo terkesan. Ini Tribuana, tempatnya anak-anak munafik.” Miki berkata di belakang Uti. Membuat cewek itu sedikit kaget.
            
“Oke, akhirnya lo laper dan ngejar gue kesini. ‘rite?” Uti mengekor pada Miki yang mulai beranjak ke konter makanan daerah.
            
“Yah, apa kata lo deh. Jujur gue emang laper. Tapi sori nih ya, gue nggak tahu, apa lo bener-bener polos, atau cuek, atau sama munafiknya kayak mereka. Lo nggak bereaksi apa-apa soal kata-kata Tere atau gue.” Miki mengambil nampan yang mengkilat.
            
“Gue cuma ngerasa kalo itu nggak begitu penting. Karena tujuan gue sekolah disini bukan untuk dengerin omongan orang yang baru gue kenal sehari. Apalagi yang jelek-jelek. Gue punya pandangan sendiri untuk nilai orang.”
            
Miki tersenyum kagum. “Whow. Lo pasti dapet pengalaman menarik di sekolah yang lama.”
            
A lot.” Uti meringis.
           
“Gini, Uti. Mungkin lo akan ngeliat gue sebagai orang yang punya banyak masalah di sekolah ini. Yah, gue emang sedikit beda.”
            
“Yah, lo emang satu-satunya cewek berambut ikal yang dikuncir dua kayak gitu.” Ucapan Uti ini membuat Miki tertawa kecil.

“Ya, itu salah satunya. Cuma lo harus tau kalo diskriminasi itu nyata di sekolah-sekolah elit. Disini emang nggak terlalu. Tapi emang kadang ‘mereka’ nggak bisa menerima murid yang lebih mencolok. Atau yang ingin kelihatan mencolok.” Miki menghentikan ceritanya sesaat karena pesanannya sudah datang. “Pokoknya, dimata mereka gue kelihatan ‘berbeda’ dan yah… lo tau cerita selanjutnya.”

“Mereka ngatain lo? Motong rambut lo secara paksa? Bawa meja lo keluar setelah di coret-coret dan di tuang pake sampah? Atau nyeret motor lo di lapangan?” Kali ini pesanan Uti yang datang. Mereka langsung mencari tempat duduk terdekat.

“Nggak lah! Sadis amat. Emangnya lo pikir ini yang kayak di drama-drama asia?  Tapi yah, bentuk penyiksaannya agak mirip kayak option pertama. Mereka menekan secara mental.”

“Mental dan fisik itu cuma di pisahin segaris benang tipis. Saat lo dipukul keras, apa yang terjadi dengan mental lo? Sakit juga kan? Oke, lupain itu. Pokoknya gue udah ngerti apa  yang lagi terjadi disini. Gue tinggal liat aja, apa cerita lo ini bener.”

“Kok gitu?” Miki terlihat tersinggung.

“Iya lah. Kan lo yang bilang kalau disini banyak orang munafik. Dan gue baru kenal lo satu hari. Oh, malah baru 3 jam. Jadi, yaa, hati-hati boleh dong.” Uti nyengir.

“Suka-suka lo deh. Yang bisa gue pastiin cuma satu, gue nggak bersikap munafik. Gue apa adanya. Dan karena apa adanya itulah gue jadi dibantai. Sial banget.”

“ ’Sial’? Sori, gue nggak tahu arti kata itu.”
***



































































Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANTANGAN TEMEN : PACARAN

Jujur saya memang ingin menulis tentang 'pacaran'. Apalagi setelah beberapa temen saya menantang, semangat saya jadi berkobar-kobar. Tapi, sebelum lanjut baca ke bawah, saya minta, kalian para sobat membuka pikiran selebar-lebarnya. Karena mungkin tulisan ini akan mengandung beberapa kontra. Eh, gimana deh?  Cekidot! Saat temen saya tanya soal pacaran, hal pertama yang saya lakuin adalah browsing . Maaf, bukan berarti saya nggak ngerti soal tema yang akan dibahas. Tapi karena saya mau mencari beberapa pendapat umum soal pacaran. ;D Hasilnya saya menemukan kalimat ini di Wikipedia : Pacaran merupakan proses perkenalan antara dua insan manusia yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang dikenal dengan pernikahan. Pada kenyataannya, penerapan proses tersebut masih sangat jauh dari tujuan yang sebenarnya. Manusia yang belum cukup umur dan masih jauh dari kesiapan memenuhi persyaratan menuju pernikahan telah denga...

Dilema Pemimpin Hadapi Covid Nineteen

Sejak pasien positif virus Corona diumumkan pada dua maret, jumlah korban terus bertambah. Per tannggal hari ini, Senin, 30 April 2020, sudah tercatat 1.414 orang positif mengidap virus tersebut. Jumlah pasien yang sembuh mulai menanjak naik di angka 75. Sementara jumlah korban meninggal masih di angka mengkhawatirkan, yaitu 122.

Misconceptions About Jihad

Culture, Social, Political, and Security In the Name of Allah, the Most Compassionate, the Most Merciful. And for Rasulullah Muhammad SAW, piece be upon him. At the beginning,  I should like to sincerely thank for your coming in this blog. In this changes I want to talk about jihad.  Have you ever heard about that before? I assume you are thinking about something wrong about that. The Arabic word "jihad" is often translated as "holy war”. However in a purely linguistic sense, the word " Jihad/Jahada” in Arabic means struggling or striving or make an effort. So, there are misunderstood concept about Jihad. The concept of ‘Jihad’ has been misconceptions is not among muslims but among non muslim also. There are political and religious groups who using ‘Jihad’ for their benefit, to justify various forms of violence. And if you hear the news about terrorism, sometimes you feel scary or inflamed your temper. And you’ll asking, why? Why they do that? Why ...