Dia cantik. Setidaknya, kalau ia tidak berteriak sembari mengucapkan sumpah serapah kepada anak-anak yang datang. Dia manis, kalau saja di tangannya tak menempel pisau sampai teracung ke udara. Ia terlihat seperti dewi, apabila mata beningnya tak melotot menyebarkan amarah.
“Sini lo! Berani banget ngapus data gua! Maju lo kalo berani!” omelnya pada udara. Orang yang ia maksudkan untuk dimaki sudah pergi menjauh. Wanita ini memegang senjata, dengan wajah memerah. Bukan merona, melainkan menahan didihan amarah yang tersumbat di otak kecilnya. Tak mendapatkan objek untuk melampiaskan kesal, ia mencincang tangga kayu. Tentu saja dengan pisau yang ia pegang sedari tadi.
“Sabar, kak. Sabar.” Ucapku
bukan sekali dua kali. Pemandangan ini lumrah, namun aku tetap ngeri melihat ia
yang gampang tersulut amarahnya. Ia lempar pisau itu ke bak cuci piring, lalu
beranjak ke arah kotak sekring, seraya menurunkan tombol hingga menghadap kata
off. Dan seluruh barang elektronik yang menyala di rental PS itu pun mati.
Fuh~ seperti yang kubilang. Pemandangan
ia marah-marah bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Namun, jika ditelisik, pemicu
amarahnya sangat sepele. Yaitu karena salah seorang pelanggan rental PS
meminjam Memory Card dan menghapus data game miliknya.
“Biarin aja lah kak. Kan dia nggak tahu kalo di MC ini kakak simpen data game level ke lima.” Ucapku mencoba menenangkan. Nafasnya masih memburu. Dadanya naik turun guna mengendalikan emosinya yang kacau. Matanya mengeluarkan selaput bening yang kuanggap sebagai luapan terakhir emosinya. Betapa labilnya orang ini, padahal umurnya beberapa tahun di atasku.
“Biarin aja lah kak. Kan dia nggak tahu kalo di MC ini kakak simpen data game level ke lima.” Ucapku mencoba menenangkan. Nafasnya masih memburu. Dadanya naik turun guna mengendalikan emosinya yang kacau. Matanya mengeluarkan selaput bening yang kuanggap sebagai luapan terakhir emosinya. Betapa labilnya orang ini, padahal umurnya beberapa tahun di atasku.
“Nggak bisa! Dia tuh seenaknya pinjem
terus main delete! Disangka gua takut
apa sama dia! Preman pasar kalo gua eneg juga gua lawan!” katanya setengah
emosi. Ya, ku bilang setengah karena dia memang sudah tak semarah tadi. Ia
sudah berhenti mengabsen nama-nama hewan, dan sudah berhenti bersikap layaknya
orang kesurupan. Aku garuk-garuk kepala, memikirkan bagaimana caranya supaya
emosi yang tersisa cepat teralih. Mataku menangkap buku komik bekas yang ada di
sudut ruangan, dan itu kupilih sebagai sarana pengalihan untuk dia.
“Kak, ini komik jaman dulu banget kan yah? Kok masih ada?” tanyaku.
“Oh, itu. Gak tahu kenapa bisa nyasar disitu.” Nada bicaranya hampir bersih dari hawa kemarahan. Sip, kalau begini tinggal lanjutkan obrolan, lalu ia akan tenang sendiri.
“Kak, ini komik jaman dulu banget kan yah? Kok masih ada?” tanyaku.
“Oh, itu. Gak tahu kenapa bisa nyasar disitu.” Nada bicaranya hampir bersih dari hawa kemarahan. Sip, kalau begini tinggal lanjutkan obrolan, lalu ia akan tenang sendiri.
***
Siapa yang tak tahu kami? Afi dan Mara,
dua sahabat bodoh yang sering menyanyi dengan bahasa aneh di pinggir kali. Kami
memang besar bersama, namun bukan dalam artian satu keluarga. Sangat lucu
karena keluarga kami justru sering bertengkar. Yah, aku dan dia sering
menyamakan kisah kami dengan drama Romeo & Juliet. Tapi aku tidak percaya
kami tidak bisa menyatu, buktinya, Selama enam tahun ini aku dan dia bersahabat
dengan baik.
“Ada gatering
Kpop di café Mon Yong Dong. Anak-anak komunitas pada minta ketemu. Yok, jalan.”
Katanya di suatu siang. Air mukanya cerah kali ini. Pipinya yang tembem
membentuk lesung pipit manis saat tersenyum. Seperti keajaiban baginya, karena
jarang ada orang berpipi tembem memiliki lesung pipit. Matanya yang bening dan
tak begitu sipit memancarkan sinar kegirangan. Kalau sedang seperti ini, tak
akan ada yang mengira ia bisa seperti iblis dikala marah.
“Ah… lagi nggak ada duit nih, Kak.”
Ucapku jujur.
“Tenang aja. Udah ayok ikut.” Balasnya sambil menarikku. Aku enggan, tapi kuikuti dia menuju ke tempat favoritnya itu.
“Tenang aja. Udah ayok ikut.” Balasnya sambil menarikku. Aku enggan, tapi kuikuti dia menuju ke tempat favoritnya itu.
***
Bermula dari kesukaannya terhadap
musik-musik negeri ginseng, lalu merambat mengidolakan pelantunnya. Ia jadi
sangat fanatik terhadap hal-hal yang berbau K-Pop. Sebagai teman terdekatnya,
sudah pasti aku ikut tertular. Kami selalu mengikuti segala kegiatan yang
berbau K-Pop. Bagiku, ini menguntungkan sekaligus merugikan. Tahu kenapa?
Setiap hal yang kami kerjakan membutuhkan banyak biaya. Dan aku tak memiliki
kekayaan seperti yang ia punya. Dengan keadaan seperti itu, mau tidak mau aku
harus menerima apa yang ia berikan. Termasuk membiayai aku saat mengikuti
acara-acara tersebut.
Sebagai anak pasangan dokter harusnya ia
bahagia, tercukupi, bahkan lebih dari cukup. Namun sepi berhasil menikam, dan
di matanya sosok lembaran uang berubah menjadi kertas pembungkus kacang. Dalam
hal ini, akulah penyelamatnya. Teman yang menariknya dalam lautan sepi. Psikiater
pribadi sekaligus parasit yang siap memunguti pembungkus kacang yang ia buang.
Tragis. Aku tidak ingin berpikir seperti itu, tetapi pikiran itu terus bertahta
dan muncul sesekali di kepalaku.
Banyak yang bilang kalau aku berteman
dengannya karena uang. Terutama para wanita yang secara naluriah membencinya.
Siapa yang tak iri? Sekali lagi ia cantik, banyak uang dan memiliki kepercayaan
diri yang luar biasa. Nampak luar ia adalah gadis yang sempurna. Banyak lelaki
yang tertarik padanya. Dan menyanjung ia dengan kalimat –gadis unik, beda dari
yang lain-. Aku tahu makna kalimat itu menuju pada sikap Kak Mara yang galak.
“Lo tuh aneh! Cewek nyablak nggak tahu
diri! Pantesan aja lo nggak punya temen, pala batu sih lo!” Bentak salah satu
member komunitas K-pop. Namanya Ira, pembenci nomor satu kak Mara. Lantaran
cowoknya naksir kakak kelasku yang manis itu. Aku tahu jelas bahwa ia sudah
berkata maaf. Namun, sepertinya wanita berambut ikal itu tak bisa diajak
kompromi. Jadilah Ira memaki-maki kasar. Tentu saja Kak Mara tak tinggal diam,
ia melemparkan gelas berisi es kopi tepat ke arah si ikal. Membuat dirinya
berlumer noda hitam kecoklatan. Nice, kuanggap
itu adalah tindakan yang wajar. Sebelum ini cewek ikal itu juga berkata kasar
padaku.
“Diem lo! Bilang aja lo iri sama gue ya
kan? Dasar nggak penting.” Kak Mara berkata sinis, tetapi ia tak berniat
melanjutkan perdebatan. Ia mengajakku untuk meninggalkan si cewek ikal yang
matanya sudah membulat. Kemudian ia membentak gila-gilaan,
“Lo tuh! Bentar lagi kacung lo itu juga
bakal pergi nginggalin lo!”
Apa yang terjadi selanjutnya aku juga
tak begitu paham. Yang pasti semuanya ricuh, banyak suara yang menjerit-jerit,
ada juga yang membentak. Sedangkan aku? Sekuat tenaga menahan tubuh Kak Mara
supaya tak mencekik si Ikal Ira.
***
Selama berteman dengannya aku tak pernah
sekacau ini. Apa yang terjadi dua jam yang lalu membuatku terpikir banyak hal.
Tentang kami. Tentang alasanku berteman dengannya dan alansafnya berteman
denganku. Tapi kelihatannya hanya aku yang berpikir keras. Karena kak Mara
bersikap seperti biasa. Ia bersandar pada punggung kursi kereta yang empuk.
Matanya memejam dengan earphone menyumbat telinga. Betapa tenangnya ia… seolah
semua yang terjadi tadi hanya mimpi, hanya delusi.
“Kacung…” Aku menggumam tanpa suara. Apa
benar aku hanya kacung baginya? Apasih? Kenapa aku jadi melankolis seperti ini!
Kami berteman selama enam tahun, dan aku langsung kacau karena ucapan cewek
asing! Seharusnya aku tidak berpikir begitu! Tetapi… sekali lagi, pikiran itu
tetap pada tempatnya. Dan saat sadar, ia sudah menggerogotiku dari dalam.
***
Yang kulakukan setelahnya kuanggap sudah
benar, yaitu pergi menjauh. Segala ajakannya pergi ke konser dan kopdar kutolak
halus. Alasan yang kupakai ialah karena persiapan ujian. Aku memang sudah kelas
tiga SMA, dan waktu mainku sudah mencapai limit. Kalau masih tahu diri aku
harus mulai membiasakan diri dengan buku-buku pintar. Kak Mara, meski sedikit
kecewa, ia bisa menerimanya.
“Ya nggak apa-apa. Cuma nanti kalo udah
selesai kita main lagi.” Katanya di pertemuan kami yang terakhir.
Sebulan, dua bulan aku sibukkan
diri di sekolah. Benar, temanku bukan hanya dirinya. Ia pun harus memiliki
teman selain aku. Kami tidak bisa berteman hanya berdua. Ia harus belajar,
mengatasi sepi dengan berbicara dengan orang lain selain aku. Kutekankan
pendirian ini pada diri sendiri. Pendirian yang suatu saat akan kusesali.
Aku pulang lebih awal hari ini. Try out
yang baru saja di selenggarakan hari ini berhasil membuat kepalaku berasap.
Begitu sampai di rumah aku langsung mencari aspirin. Namun tidak jadi
menenggaknya karena keburu ketahuan nenek.
“Jangan minum obat sembarangan! Kamu
tuh, puyeng dikit minum obat, overdosis baru tahu nanti.” Omelnya. Lalu dengan
nada yang sama, ia melanjutkan. “Jangan jadi kayak temanmu, frustasi sedikit
sudah menenggak obat nggak jelas.”
“Maksud nenek?” Tanyaku bingung.
“Itu tuh, si Mara. Dengar orang tuanya
cerai ia langsung mau bunuh diri. Konyol.”
Mendengar
itu, seketika mataku membulat. Tidak percaya! Kak Mara melakukan tindakan
sebodoh itu. Apa sih yang ada di otaknya! Aku berjalan terburu-buru, melupakan
keadaanku yang masih mengenakan baju seragam. Kubuka flap ponsel dan kutekan
angka 3 lama seraya menempelkan kotak itu ketelinga, menunggu jawaban.
“Kak!” Hentakku ketika kami sudah
terhubung. “Dimana?” lanjutku.
“Di RS Surya. Tumben telpon Fi, udah
selesai ujiannya?” Aku bingung! Kenapa saat ia hampir mati ia bisa berkata
dengan nada tenang seperti itu! Dengan gusar kutanya di kamar mana ia sekarang.
Dan begitu mendapatkan keterangan lengkap, aku bergegas menuju rumah sakit yang
hanya satu kilometer dari rumah kami.
***
Menurut pemerikasaan ia baik-baik saja.
Obat yang ia telan berdosis rendah, dan hanya menyebabkan shock sementara pada
tubuhnya. Tapi aku tetap tak bisa membayangkan, bagaimana perasaannya ketika
menelan belasan pil sekaligus. Kini kuakui, ia memang sinting.
“Mama bilang ingin bunuh diri, jadi apa
yang bisa gue lakuin selain ikut mati?” Ucapnya saat langit sore bermandikan
jingga. Ia menatap langit itu dengan pandangan aneh, seperti ingin terbang
menjangkaunnya. Lingkar matanya berwarna gelap dan berkantung. Sudah berapa
tangki air mata yang ia keluarkan?
Kupaksa ia untuk bercerita lebih jauh.
Ternyata kenyataan memang sangat tragis. Mataku dipaksa untuk membuka, dan
menerima kalau masalahnya memang sangat berat. Bahkan lebih berat dariku yang
galau karena disebut ‘kacung’. Ayahnya sudah menikah lagi, secara diam-diam
dengan seorang wanita yang lebih pantas menjadi adiknya. Sang Ibu -setelah
mengatakan akan bunuh diri-pun pergi meninggalkannya.
Aku banyak tahu tentang kedua orang
tuanya yang sangat tidak peduli. Bahkan untuk anak mereka satu-satunya yang
manis ini, tak ada sedikitpun rasa peduli. Aku tahu, menurut mereka, asalkan
kebutuhan materi tercukupi tak masalah apabila Mara harus sendiri.
Padahal aku tahu! Aku tahu semuanya,
rasa perih dan sakit yang Kak Mara pendam selama ini. Ia percayakan padaku
segala aib yang dipikulnya. Bukan sekali dua kali ia bilang sudah menganggapku
sebagai saudara! Kenapa aku berpikir ia menyamai aku dengan kacung?! Tangisku
meledak, penyesalan mendesak-desak. Menekan di tempat yang tepat. Ia menangis
bersamaku, namun tak terisak sepertiku. Aku mengerti, ia tak mungkin menangis
lebih banyak dari ini. Karena kalau ia juga terisak, mungkin ia akan buta.
Biarlah, aku akan kembali mendekat
padanya. Tak peduli bagaimana pendapat orang, Kacung, parasit, babu, apalah
itu, akan kutelan semuanya. Yang paling penting adalah tidak membiarkan ia
sendiri. Bagaimanapun, karena kami adalah sahabat.
***

Komentar
Posting Komentar
Yok, yang mau komen harap sopan ya~
Kalau tidak sopan pemilik blog berhak untuk menghapus komentar tersebut.
Terima kasih~