Cinta
tidak selalu untuk seorang pria
Sibuk.
Itu kata yang tepat untuk wanita yang kini duduk di belakang meja kerjanya.
Ponselnya berdering berkali-kali. Tapi tak sedikitpun ia menjawab
panggilan-panggilan itu. Ia tahu itu hanya teman-teman yang ingin mengajaknya
ngobrol. ‘Hanya’ itu berarti cowok-cowok iseng yang sekedar bertanya : halo,
lagi apa?
Bagi
Jihan itu super tidak penting untuk di jawab. Laptop, baru sesuatu yang lebih
penting untuk dipandangi dan diperhatikan.
“Han,
tadi Niken telepon ke rumah. Tanya kok kamu nggak jawab telepon?” dari pintu
kamar, Ibu berbicara.
“Niken?
Oh. Nanti kutelpon balik.” Jihan merespon tanpa melihat kebelakang. Sang ibu
paham betul tabiat anak perempuannya. Makanya ia hanya mendesah lalu kembali
lagi ke ruang tamu melanjutkan menonton tv. Jihan sendiri butuh waktu lama
untuk melaksanakan apa yang ia ucapkan tadi. Setelah setengah jam barulah ia
meluangkan waktu untuk menelpon Niken.
“Yo,
apa?” Ucapnya langsung begitu ponsel terhubung.
“Lo!
Gue telponin dari tadi nggak diangkat-angkat! Ngapain aja sih?” Sosor Niken
langsung. Jihan sejenak mengintip ke call
log. Ada 12
panggilan masuk khusus punya Niken.
“Oh, iya. Kenapa Ken? Sori gue
lagi nulis tadi.”
“Ah, Lo. Berhenti nulis kek
sebentar buat nge-cek Hp. Lo lagi di
rumah, kan?
Cepetan siap-siap, setengah jam lagi gue jemput.”
“Mau kemana sih?” Ketenangan
Jihan seketika buyar. Ia paling sebal kalo seseorang menyuruhnya melakukan
sesuatu tanpa penjelasan.
“Udah, cepetan siap-siap. Kalo
nggak gue bawa Robi ke rumah lo!” Ancam Niken. Kali ini Jihan mengerang. Dia
paling anti kalo Niken -atau siapapun- menyebut-nyebut nama Robi. Cowok
nyebelin yang punya muka badak. Culas dan doyan cari untung. Sialnya cowok itu
merasa tertantang untuk menaklukan Jihan. Makanya Robi melakukan segala cara
untuk mendekat. Jelas itu membuat Jihan muak.
“Lo
bawa dia ke rumah, putus hubungan pertemanan kita.” Ancam balik Jihan. Kemudian
cewek itu mendesah. “Oke, 45 menit.”
“Ok, 45 menit lagi gue disana.” Niken
menutup sambungan telepon.
***
Empat puluh lima menit kemudian Jihan sudah siap dengan
kemeja biru casual dan jeans senada.
Ia menenteng sepatu converse keluar
dari ambang pintu. Tas selempang warna hitam ia sampirkan di kepala. Gayanya
seperti anak SD yang mau berangkat sekolah.
“Han, umurmu udah 23 loh. Masih
taruh tas di kepala begitu.” Tegur ibunya mengikuti Jihan ke teras rumah.
“Nggak kupake begini kalo
keluar dari teras ibu.” Sahut Jihan tenang. Ia memakai sepatunya yang nyaman.
“Duh, gayamu begitu mana ada
cowok yang mau mendekat.”
Jihan mengerling sebentar, ia ingat Robi, Cowok
yang ‘mau mendekat’. Kalo cowok yang mendekat sejenis dia sih, mending nggak
usah didekati sama sekali. Pikir Jihan sembari merinding membayangkan kehadiran
Robi. Ah, tapi nggak boleh mikir kayak gitu ya, nanti malah seret jodoh. Jihan
menggeleng pelan.
Tak
lama kemudian Niken sudah datang dengan motor matic kesukaannya. Motor hitam yang sangat ia sayang. Bahkan ia
lebih sayang motor itu di banding pacarnya yang sekarang. Jihan mohon pamit
pada ibunya. Lalu menghampiri Niken yang sedang memarkirkan motor di pelataran
rumah.
“Halo,
Tante.” Sapa Niken pada ibu Jihan yang masih berdiri di depan pintu. “Aku ajak
Jihan nya main dulu ya, Tan.” Izinnya.
“Iyo,
jangan malem-malem ya, Ken.” Ibu Jihan tersenyum memandangi dua anak perempuan
itu. mereka sahabat lama. Berteman dari zaman SMA. Jadi ibu Jihan sudah
terbiasa dengan kehadiran Niken yang tiba-tiba.
Dua
puluh menit kemudian mereka sudah membelah jalan raya menuju ke suatu tempat.
Di perjalanan Niken bercerita tentang klien yang susah ia tangani. Klien itu
adalah pelanggannya online shop. Yah,
Niken memang punya online shop yang
menjual barang-barang khusus wanita. Tapi semenjak setengah tahun yang lalu
Niken menambah cakupan bisnisnya ke kaus distro. Sekarang ia harus menghadapi
pelanggan yang komplain soal produk Niken yang baru.
“Dia
bilang kausnya nggak muat dan minta
ketemu.” Jelas Niken. “Gue payah kalo ngadepin pelanggan cowok yang cerewet.
Kalo pelanggan cewek masih bisa gue tanganin. Nah, kalo yang satu ini, gue aja
sampe empet nerima sms dan telpon dia. Jadinya kayak orang neror, tau nggak
lo.” Sekalian Niken mengeluh dan ngomel. Mumpung lagi ada wadah yang nampung.
“Oh.
Jadi lo mau minta tolong gue untuk ngadepin si pelanggan cowok ini?”
“Yah,
lo kan galak
Han.”
“Bukan
galak, tapi tegas.”
“Kalo
dari pengelihatan gue sih galak. Hahahahaha.” Ledek Niken. Tapi karena hawa di
belakangnya jadi berubah hitam ia segera meralat perkataannya. “Oke, tegas.” Ia
berusaha menahan tawa di sudut-sudut bibirnya.
Lalu
sampai lah mereka di salah satu resto berkonsep natural di daerah Jakarta selatan. Niken
mempersiapkan diri untuk masuk ke resto tersebut. Tapi belum siap ia sudah
keburu di dorong masuk oleh Jihan. “Just
face it, now.” Katanya.
“Eh,
itu orangnya. Eh- kok ganteng ya?” Niken bingung sendiri melihat cowok yang
duduk di tempat dekat kaca.
“Mukanya
nggak meyakinkan.” Jihan menyipitkan matanya.
Mereka berdua mendekati pria itu. Pria yang
terlihat sangat memperhatikan penampilan. Atau yang Jihan pikir sebagai :
tukang dan-dan.
“Hai.
Gue Niken.” Sapa Niken ketika mereka sudah dekat. Cowok itu menoleh kepada
Niken yang mengulurkan tangan. Ia menjabat tangan Niken dengan ekspresi biasa
saja. Kelihatannya sudah terbiasa bertemu dan kenalan dengan banyak cewek
cantik.
“Gue
Ardy. Temennya Dias yang komplain soal kaus lo. Dia lagi ke toilet. Oh-tu orang
nya.” Ardy menunjuk pada seseorang yang baru keluar dari lorong restoran. Cute sih. Tapi gemuk. Seketika Jihan
langsung merasa tidak tega kalau harus memarahi pelanggan gemuk itu. Wajahnya
kalem banget sih. Kalau Jihan nggak tahu soal info umur si pelanggan, ia akan
mengira si cowok gendut masih SMA.
“Oh,
mbak Niken. Ini loh mbak, kausnya kekecilan. Saya nggak bisa make. Gimana
dong!? Padahal kan,
lusa saya mau ke acara komunitas pake kaus limited
ini.” Cowok yang bernama Dias itu mulai komplain dan mengeluarkan kaus
distro berdesign khusus dari ransel.
“Waktu
pesan mas bilang ukuran berapa?” Tanya Jihan to the point. Semasa bodo deh, mau bilang diskriminasi juga boleh.
Ia dan Niken duduk berhadap-hadapan dengan kedua cowok beda ukuran itu. Barusan
mereka sudah saling memperkenalkan diri dengan singkat. Dan dari bicaranya.
Jihan tahu kalau Dias tipe yang cerewet. Makanya ia berniat membuat Dias skak mat saja. Biar cepat.
“L,
Mbak.” Jawab Si Dias tegas.
“Lo
sadar nggak kalo baju yang lo pake sekarang ukurannya bukan L.” Ucapan ini
mengundang sikut pelan dari Niken. Segera Jihan melirik pada Niken dengan
pandangan : Sakit! Lo mau gue bantuin
nggak sih?
“Eh,
emang ini ukurannya apa?” Dengan polos Dias bertanya pada Ardy.
“Nggak
tau. Mana pernah gue merhatiin baju lo. Emangnya gue cewek lo.” Sahut Ardy tak
terduga.
“Sori
nih, Dias, lo harusnya waktu pesen bilang ukuran XL. Soalnya size lo bukan L” Niken berkata sopan. Ia
memang begitu kalau menghadapi pelanggan. Masih memegang paham ‘pelanggan
adalah raja’. Duh, kalau begitu sih pedagang bakal tertindas. Kenapa nggak di
jadiin sahabat aja sih, biar saling pengertian. Ini yang Jihan pikirkan kalau
Niken melayani dengan over full service.
“Tapi
L itu ukuran yang terbesar kan?
Kalo di kaos yang paling besar itu kan
L.” Protes Dias.
“Human’s error nih. Lo mending buka baju
dan liat ukuran kaos lo deh.” Ucap Jihan santai.
“Yaudah
lah. Kalo nggak gini aja. Kasih saya waktu untuk buat baju yang baru dengan
ukuran kamu. Nanti saya akan buat buat sesuai dengan pendataan ukuran
sekarang.” Niken memberikan solusi.
“Berapa
lama mbak?” Dias menunjukan mimik tidak puas.
“Seminggu
ya.”
“Yah!
Kan tadi saya
udah bilang mau pake kaus ini lusa ke acara komunitas. Mbak gimana sih?”
“Kalo
gitu sebelum pesen baju periksa dulu ukuran lo yang sebenernya. Udah di kasih
dispensasi free repair kan? Padahal salah info
dari elo. 3 hari aja, gimana?” Tegas Jihan, namun tetap dengan nada santai.
Tapi mimik Jihan seolah tidak bisa dibantah. Jadi setelah terdiam beberapa saat
Dias menangguk.
“Oke,
tiga hari lagi saya kasih kausnya di sini ya. Kali ini pasti yang ukuran kamu.”
Niken berkata girang. Akhirnya perdebatan itu mencapai kesepakatan. Ia
mengambil buku catatan dan pengukur badan. Jihan memperhatikan Niken bekerja,
mengukur badan si Dias. Semoga tuh badan nggak nambah gede dalam waktu tiga
hari. Pikir Jihan dalam hati.
Tanpa Jihan sadari, sepasang mata
memperhatikannya. Sejak awal Ardy sudah mengira Jihan itu galak. Karena
pandangan matanya nggak menyiratkan kekaguman ketika melihat cowok itu. Senyum
Ardy mengembang sedikit. Jarang ada cewek yang bersikap angkuh ketika bertemu
dengannya. Sekalipun ada yang menjaga jarak, itu pasti karena minder akan
perbedaan tampang.
Jihan
berbeda. Dari awal memang sikapnya acuh, cuek, nggak terlalu banyak omong
kecuali untuk memojokkan Dias. Seperti bergerak sesuai misi. Bahkan saat ini,
dimana jelas-jelas Ardy melayangkan godaan maut (menatap terus menerus) tetap
tidak digubris oleh Jihan. Kalau cewek yang lain pasti sudah salting. Sedangkan
Jihan dengan santainya menatap ke televisi flat
di ujung restoran. Menyaksikan berita yang terjadi.
“Kalian
masih kuliah?” Ardy akhirnya tidak tahan untuk mengajak ngobrol.
“Gue
masih, Jihan udah lulus.” Niken menjawab dengan senyum termanisnya. Ardy balas
tersenyum. Tapi obrolan itu gagal memancing Jihan keluar dari fokus TV.
“Lagi
nonton apa sih, kayaknya seru banget?” Ardy ikut menatap ke TV. “Oh, Mesir.” Gumamnya kemudian.
“Bahaya ya, rakyat mesir sampe nyerang pemerintah begitu. Anarkis.” Komentar
Ardy, sengaja supaya Jihan membuka mulut. Tapi yang pertama terlihat adalah
reaksi Jihan yang melirik tajam.
“Lo
tahu akar dari konflik itu?” Tanya Jihan sadis. Ia yakin cowok di depannya ini
tidak tahu soal informasi itu. Dan ternyata benar, Ardy di buat agak salting
dalam mencari jawaban pertanyaan Jihan.
“Ya..
itu kan,
nggak berpengaruh. Sekalinya anarkis tetap anarkis.” Ardy berusaha berkilah.
Jihan mendesah. Percuma ia menimpali komentar Ardy dalam topik ini.
“Jihan
jurnalis sih, Di. Makanya dia agak sensi kalo soal berita-berita gitu.” Niken
yang menimpali. Ia merasa kasihan pada Ardy. Sebenarnya bukan Ardy saja cowok
yang menjadi sasaran kejudesan Jihan.
Bilang kek dari tadi. Kan gue nggak perlu
bikin malu diri gue sendiri. Ardy merutuk dalam hati.
Namun, wajahnya tetap di usahakan ramah. Ia masih penasaran dengan Jihan.
“Oh,
gitu. Hebat dong, Jihan. Berarti kamu pinter.” Katanya.
“Bukan
cuma jurnalis yang pinter di dunia ini.” Sahut Jihan pendek.
“Tapi
jurnalis yang memegang informasi dunia. Merekalah yang memberitahu dunia kalo
ada krisis yang terjadi. Tanpa mereka dunia buta. Itu hebat kan?” Ardy mahir dalam mencari pujian.
Apalagi kalau sudah ketemu cewek cantik. Dan Jihan terlihat seperti tantangan
yang harus di taklukan. Makanya ia harus cepat berpikir supaya bisa sejajar
dengan cewek itu.
“Thanks for your compliment. Gue akan
sampaikan ke rekan-rekan jurnalis di komunitas.” Jihan sedikit tersenyum. Tapi
dia hanya basa-basi! Pujian seperti itu sudah sering ia dengar.
“Itu
pujian untuk lo sebenernya”
Hah! Klise. Umpat Jihan dalam hati. Ia
melayangkan pandangan pada Niken yang sudah selesai mengukur Diaz. Kemudian ia berdiri.
“Udah
selesai kan?
Gue ada janji sama Ade. Mau ngajak makan bareng. Yuk pergi. Atau gue duluan?”
Ia berkata dengan aura yang dirasa Niken sudah jelek. Niken segera membereskan
pekerjaannya dan berbincang sedikit dengan Dias.
“Nggak
makan disini aja?” Tawar Ardy. Berusaha menahan Jihan pergi, ia tak akan
menyerah semudah itu. Sekalipun Jihan sudah punya pacar.
“Sori,
lo nggak denger, tadi gue bilang ada janji duluan.”
“Pacar
lo ya?”
“Lebih
dari itu kayaknya.” Jihan mengerling sinis.
“Oke,
kami pamit ya.” Niken dan Jihan bergerak keluar dari restoran.
Hal seperti tadi memang bukan
yang pertama kali terjadi. Tetapi Niken tetap sebal melihat tingkah Jihan kalau
dalam keadaan seperti itu. Dulu, waktu di awal, Niken mengira kalau Jihan itu
sombong. Namun, semakin mereka dekat, Niken jadi tahu alasan Jihan bukan karena
besar kepala soal parasnya. Tapi lebih kepada prinsip. Cewek itu sangat keras
kepala sih.
“Gue tau soal prinsip lo, tapi seenggaknya lo bisa lebih
enjoy kan
tadi?” Komentar Niken saat mereka dalam perjalanan pulang.
“First, gue lagi spaneng hari ini. Deadline sebentar lagi dan ada banyak naskah yang harus gue setor
ke Wija. Second, tuh cowok emang pas
banget jadi objek buat ngeluapin stress gue. See?” Jihan berkata tenang.
“Jihaaan!
Kalo lu kayak gitu mulu kapan dapet cowoknya?! Kagak bakal ada cowok yang mau
sama elu!” Omel Niken kemudian.
“Bukan
lu yang nentuin jodoh gue.” Ini
adalah kata-kata pamungkas Jihan. Kalau ia sudah mengeluarkan kata-kata ini,
Niken tak akan berani mengomel lagi.
Jihan
Mutia Salsabila, dilahirkan 23 tahun yang lalu pada pukul 9 malam. Kata ibunya,
dari kecil Jihan sudah diperkirakan akan jadi sangat keras kepala. Kesimpulan
itu di dapat karena Jihan lahir jam 9 malam hari senin. Tapi bagi Jihan itu
sama sekali tidak berpengaruh! Sifat keras kepala yang ia punya menurun dari
ayahnya. Jihan tahu pasti, soalnya ia dan Ayahnya sering berdebat.
Sifat
keras kepala ini juga berlaku di dalam kisah cinta gadis itu. Sampai di umur
yang 23, Jihan belum juga punya pacar ataupun gebetan. Bukannya tidak laku,
tapi gadis manis ini memang sengaja memberi jarak pada pria yang mendekat. Dulu
ketika remaja Jihan masih bisa beralasan ‘belom waktunya pacaran. Sekolah dulu
yang bener’. Tapi kini ia sudah berumur 23, umur yang kata teman-temannya ‘rentan
kalo nggak dapat pacar’.
“Nanti
nggak bisa nikah loh.” Kata-kata itulah yang sering Niken ucapkan. Sindiran ini
yang sering membuat Jihan kesal. Kalau Niken sudah mulai menyindir ia pasti
langsung menjawab : “Emangnya harus pacaran dulu baru nikah?!” dengan nada
sedikit melengking.
Tapi Jihan juga tak ingin jadi
munafik. Jujur, dalam hati yang terdalam Jihan juga mendambakannya. Punya
seseorang yang bisa jadi pelipur lara, mengobati sepi, menemani malam apabila
datang sunyi, dan segudang kata-kata yang membuat ia menginginkan sosok
‘pacar’. Apalagi hasutan dari teman-temannya yang bilang ‘selagi muda harus
menikmati hidup. Pacaran sekali dua kali sih tak apa. Lumayan, belajar untuk
mencintai dan bisa observasi tentang kehidupan berpasangan. Katanya sih bisa
jadi pengalaman untuk berumah tangga juga.’ Kalau untuk alasan yang terakhir
Jihan agak sangsi. Karena ada beberapa temannya yang justru berumah tangga
‘duluan’ gara-gara mecoba konsep itu.
Entah, ada banyak faktor yang
membuat Jihan kadang menginginkan sensasi berpacaran. Namun, disisi lain ada
sesuatu yang memberontak di hatinya. Membuat ia langsung mundur seribu langkah
ketika si calon pacar sudah bergerak maju. Cara mundurnya juga ekstrim banget.
Sebelum mundur, gadis itu akan memberikan petuah sadis tentang idealisnya. Dan
menyebabkan si ‘calon’ pacar akan pergi dan kabur teratur. Kalau ada lebah
jantan yang ngeyel, Jihan bisa lebih kejam lagi. Lebah malang itu tak akan ia gubris sama sekali.
Sulit kan? Ada
dua hal yang bertolak belakang di dalam dirinya. Ia sama sekali tak bisa
menemukan mana yang benar. Ia harus jadi ‘normal’ sebagai wanita yang hidup di
zaman android. Tapi ia juga ingin menjadi gadis yang berhasil mempertahankan
harga dirinya. Entah dalam bentuk yang bagaimana sebuah harga diri di mata gadis
itu.
Niken membawa Jihan dengan
selamat sampai ke rumah. Kali ini Niken tidak mampir dulu karena pesanan Dias
harus segera diurus. Namun, sebelum gadis itu pergi, ia masih sempat
menceramahi Jihan. “Lo, kalo tetep kayak gini, bakal jadi Jones tau nggak.
Jomblo ngeNes!”
Jihan tidak menanggapi. Semasa
bodoh Niken mau ngomong apa. Soalnya saat melihat rumah, fokusnya sudah
berpindah ke pekerjaan. Tumpukan draft artikel yang harus disempurnakan dan planning untuk topik artikel yang
selanjutnya. Resiko jadi seorang jurnalis koran yang terbit setiap hari ya
memang begitu. Harus siap diburu deadline.
Tapi saat masuk kedalam rumah,
ia langsung tercengang melihat siapa yang datang. Gadis dengan jilbab dan gamis
menutup tubuhnya. Sangat apik sampai Jihan jadi merasakan sesuatu yang aneh,
itu mungkin rasa malu. Saat menengok, wajah sepupunya terlihat dengan senyum
yang merekah.
“Anissa?” Gumam Jihan.
“Kak. Subhanallah, kakak jadi
cantik banget!” katanya sambil menghampiri Jihan dan menyalami kakak sepupunya
itu. Jihan jadi benar-benar malu, kata-kata itu harusnya ia tujukan untuk
Anissa.
“Kamu baru pulang dari Kairo,
Paman sama bibi nggak ikut kesini?”
“Mba Mar masih ngurus sesuatu
di Kairo, jadi Nissa dititip dulu disini Han.” Ibu keluar dari dapur membawa
tiga gelas es teh manis.
Mereka bertiga duduk sembari
berbincang-bincang tentang kehidupan Anissa selama di Kairo. Ada ketenangan yang menjalar saat Jihan
mengobrol dengan sepupunya itu. Juga sedikit iri, atas perubahan yang terjadi
pada diri Anissa. Waktu kecil Anissa sangat keras kepala dan sering memanjat
pohon. Justru Jihan yang lebih kalem dan lemah lembut. Tapi entah kenapa, saat
dewasa kelakuan mereka malah jadi seperti bertukar. Itu pasti karena didikan
Abi dan Umi, kedua orang tua Anissa yang membesarkan anak itu penuh kasih dan
tuntunan agama. Apalagi beberapa tahun ini Anissa tinggal di Kairo, lingkungan
elit yang sangat agamis. Sedangkan Jihan harus survive di tengah-tengah kota
yang menuntut sikap tegas. Atau yang menurut pandangan Niken ‘sikap galak’.
“Terima kasih ya, bude. Aku
udah di bolehin tinggal disini sementara Umi dan Abi ngurus surat-surat di
Kairo.” Anissa tersenyum.
“Iya lah, Nis. Selama ini kamu kalau ke
Indonesia-Jakarta juga pasti menginap disini. Nggak apa-apa. Nanti kamu bisa
tidur di kamarnya Dita kayak dulu-dulu.”
Bersambung ke HIJRAH HATI Page 2.
Setiap pembaca (yang kenal gue) mungkin berpikir kalau tokoh 'Jihan' ini merupakan cerminan dari prinsip gue. Tapi tetap kami adalah karakter yang berbeda. Jihan jauh lebih galak dan tegas atas prinsipnya. Sedangkan gue? Hahaha.... *sudahlah.
Gue bukan jurnalis pro, jadi agak sulit menggambarkan Jihan dan pekerjaannya. Meskipun begitu gue tetep optimis melanjutkan cerita ini. Untuk para pembaca yang punya prinsip sama seperti Jihan, gue mohon dukungan berupa kritik dan masukan.
Terima kasih banyak!!! :D
Kalo
mau copas ijin dulu yak. Dan tolong banget, komentarin karya gue. Mau
kritik juga gapapa, asal nggak maki-maki pake kata-kata 'kurang pantas'
aja. Hehehehehe,
Salam,
LanLane
Komentar
Posting Komentar
Yok, yang mau komen harap sopan ya~
Kalau tidak sopan pemilik blog berhak untuk menghapus komentar tersebut.
Terima kasih~