Langsung ke konten utama

Hijrah Hati : Jihan

Cinta tidak selalu untuk seorang pria

           Sibuk. Itu kata yang tepat untuk wanita yang kini duduk di belakang meja kerjanya. Ponselnya berdering berkali-kali. Tapi tak sedikitpun ia menjawab panggilan-panggilan itu. Ia tahu itu hanya teman-teman yang ingin mengajaknya ngobrol. ‘Hanya’ itu berarti cowok-cowok iseng yang sekedar bertanya : halo, lagi apa? 

            Bagi Jihan itu super tidak penting untuk di jawab. Laptop, baru sesuatu yang lebih penting untuk dipandangi dan diperhatikan.

            “Han, tadi Niken telepon ke rumah. Tanya kok kamu nggak jawab telepon?” dari pintu kamar, Ibu berbicara.

            “Niken? Oh. Nanti kutelpon balik.” Jihan merespon tanpa melihat kebelakang. Sang ibu paham betul tabiat anak perempuannya. Makanya ia hanya mendesah lalu kembali lagi ke ruang tamu melanjutkan menonton tv. Jihan sendiri butuh waktu lama untuk melaksanakan apa yang ia ucapkan tadi. Setelah setengah jam barulah ia meluangkan waktu untuk menelpon Niken.

            “Yo, apa?” Ucapnya langsung begitu ponsel terhubung.

            “Lo! Gue telponin dari tadi nggak diangkat-angkat! Ngapain aja sih?” Sosor Niken langsung. Jihan sejenak mengintip ke call log. Ada 12 panggilan masuk khusus punya Niken.

“Oh, iya. Kenapa Ken? Sori gue lagi nulis tadi.”

“Ah, Lo. Berhenti nulis kek sebentar buat nge-cek Hp. Lo lagi di rumah, kan? Cepetan siap-siap, setengah jam lagi gue jemput.”

“Mau kemana sih?” Ketenangan Jihan seketika buyar. Ia paling sebal kalo seseorang menyuruhnya melakukan sesuatu tanpa penjelasan.

“Udah, cepetan siap-siap. Kalo nggak gue bawa Robi ke rumah lo!” Ancam Niken. Kali ini Jihan mengerang. Dia paling anti kalo Niken -atau siapapun- menyebut-nyebut nama Robi. Cowok nyebelin yang punya muka badak. Culas dan doyan cari untung. Sialnya cowok itu merasa tertantang untuk menaklukan Jihan. Makanya Robi melakukan segala cara untuk mendekat. Jelas itu membuat Jihan muak.

            “Lo bawa dia ke rumah, putus hubungan pertemanan kita.” Ancam balik Jihan. Kemudian cewek itu mendesah. “Oke, 45 menit.”

            Ok, 45 menit lagi gue disana.” Niken menutup sambungan telepon.

***

Empat puluh lima menit kemudian Jihan sudah siap dengan kemeja biru casual dan jeans senada. Ia menenteng sepatu converse keluar dari ambang pintu. Tas selempang warna hitam ia sampirkan di kepala. Gayanya seperti anak SD yang mau berangkat sekolah.

“Han, umurmu udah 23 loh. Masih taruh tas di kepala begitu.” Tegur ibunya mengikuti Jihan ke teras rumah.

“Nggak kupake begini kalo keluar dari teras ibu.” Sahut Jihan tenang. Ia memakai sepatunya yang nyaman.

“Duh, gayamu begitu mana ada cowok yang mau mendekat.”

Jihan mengerling sebentar, ia ingat Robi, Cowok yang ‘mau mendekat’. Kalo cowok yang mendekat sejenis dia sih, mending nggak usah didekati sama sekali. Pikir Jihan sembari merinding membayangkan kehadiran Robi. Ah, tapi nggak boleh mikir kayak gitu ya, nanti malah seret jodoh. Jihan menggeleng pelan.

            Tak lama kemudian Niken sudah datang dengan motor matic kesukaannya. Motor hitam yang sangat ia sayang. Bahkan ia lebih sayang motor itu di banding pacarnya yang sekarang. Jihan mohon pamit pada ibunya. Lalu menghampiri Niken yang sedang memarkirkan motor di pelataran rumah.

            “Halo, Tante.” Sapa Niken pada ibu Jihan yang masih berdiri di depan pintu. “Aku ajak Jihan nya main dulu ya, Tan.” Izinnya.

            Iyo, jangan malem-malem ya, Ken.” Ibu Jihan tersenyum memandangi dua anak perempuan itu. mereka sahabat lama. Berteman dari zaman SMA. Jadi ibu Jihan sudah terbiasa dengan kehadiran Niken yang tiba-tiba.

            Dua puluh menit kemudian mereka sudah membelah jalan raya menuju ke suatu tempat. Di perjalanan Niken bercerita tentang klien yang susah ia tangani. Klien itu adalah pelanggannya online shop. Yah, Niken memang punya online shop yang menjual barang-barang khusus wanita. Tapi semenjak setengah tahun yang lalu Niken menambah cakupan bisnisnya ke kaus distro. Sekarang ia harus menghadapi pelanggan yang komplain soal produk Niken yang baru.

            “Dia bilang kausnya nggak muat dan  minta ketemu.” Jelas Niken. “Gue payah kalo ngadepin pelanggan cowok yang cerewet. Kalo pelanggan cewek masih bisa gue tanganin. Nah, kalo yang satu ini, gue aja sampe empet nerima sms dan telpon dia. Jadinya kayak orang neror, tau nggak lo.” Sekalian Niken mengeluh dan ngomel. Mumpung lagi ada wadah yang nampung.

            “Oh. Jadi lo mau minta tolong gue untuk ngadepin si pelanggan cowok ini?”

            “Yah, lo kan galak Han.”

            “Bukan galak, tapi tegas.”

            “Kalo dari pengelihatan gue sih galak. Hahahahaha.” Ledek Niken. Tapi karena hawa di belakangnya jadi berubah hitam ia segera meralat perkataannya. “Oke, tegas.” Ia berusaha menahan tawa di sudut-sudut bibirnya.

            Lalu sampai lah mereka di salah satu resto berkonsep natural di daerah Jakarta selatan. Niken mempersiapkan diri untuk masuk ke resto tersebut. Tapi belum siap ia sudah keburu di dorong masuk oleh Jihan. “Just face it, now.” Katanya.

            “Eh, itu orangnya. Eh- kok ganteng ya?” Niken bingung sendiri melihat cowok yang duduk di tempat dekat kaca.

            “Mukanya nggak meyakinkan.” Jihan menyipitkan matanya.

Mereka berdua mendekati pria itu. Pria yang terlihat sangat memperhatikan penampilan. Atau yang Jihan pikir sebagai : tukang dan-dan.

            “Hai. Gue Niken.” Sapa Niken ketika mereka sudah dekat. Cowok itu menoleh kepada Niken yang mengulurkan tangan. Ia menjabat tangan Niken dengan ekspresi biasa saja. Kelihatannya sudah terbiasa bertemu dan kenalan dengan banyak cewek cantik.

            “Gue Ardy. Temennya Dias yang komplain soal kaus lo. Dia lagi ke toilet. Oh-tu orang nya.” Ardy menunjuk pada seseorang yang baru keluar dari lorong restoran. Cute sih. Tapi gemuk. Seketika Jihan langsung merasa tidak tega kalau harus memarahi pelanggan gemuk itu. Wajahnya kalem banget sih. Kalau Jihan nggak tahu soal info umur si pelanggan, ia akan mengira si cowok gendut masih SMA.

            “Oh, mbak Niken. Ini loh mbak, kausnya kekecilan. Saya nggak bisa make. Gimana dong!? Padahal kan, lusa saya mau ke acara komunitas pake kaus limited ini.” Cowok yang bernama Dias itu mulai komplain dan mengeluarkan kaus distro berdesign khusus dari ransel.

            “Waktu pesan mas bilang ukuran berapa?” Tanya Jihan to the point. Semasa bodo deh, mau bilang diskriminasi juga boleh. Ia dan Niken duduk berhadap-hadapan dengan kedua cowok beda ukuran itu. Barusan mereka sudah saling memperkenalkan diri dengan singkat. Dan dari bicaranya. Jihan tahu kalau Dias tipe yang cerewet. Makanya ia berniat membuat Dias skak mat saja. Biar cepat.

            “L, Mbak.” Jawab Si Dias tegas.

            “Lo sadar nggak kalo baju yang lo pake sekarang ukurannya bukan L.” Ucapan ini mengundang sikut pelan dari Niken. Segera Jihan melirik pada Niken dengan pandangan : Sakit! Lo mau gue bantuin nggak sih?

            “Eh, emang ini ukurannya apa?” Dengan polos Dias bertanya pada Ardy.

            “Nggak tau. Mana pernah gue merhatiin baju lo. Emangnya gue cewek lo.” Sahut Ardy tak terduga.

            “Sori nih, Dias, lo harusnya waktu pesen bilang ukuran XL. Soalnya size lo bukan L” Niken berkata sopan. Ia memang begitu kalau menghadapi pelanggan. Masih memegang paham ‘pelanggan adalah raja’. Duh, kalau begitu sih pedagang bakal tertindas. Kenapa nggak di jadiin sahabat aja sih, biar saling pengertian. Ini yang Jihan pikirkan kalau Niken melayani dengan over full service.

            “Tapi L itu ukuran yang terbesar kan? Kalo di kaos yang paling besar itu kan L.” Protes Dias.

            Human’s error nih. Lo mending buka baju dan liat ukuran kaos lo deh.” Ucap Jihan santai.

            “Yaudah lah. Kalo nggak gini aja. Kasih saya waktu untuk buat baju yang baru dengan ukuran kamu. Nanti saya akan buat buat sesuai dengan pendataan ukuran sekarang.” Niken memberikan solusi.

            “Berapa lama mbak?” Dias menunjukan mimik tidak puas.

            “Seminggu ya.”

            “Yah! Kan tadi saya udah bilang mau pake kaus ini lusa ke acara komunitas. Mbak gimana sih?”

            “Kalo gitu sebelum pesen baju periksa dulu ukuran lo yang sebenernya. Udah di kasih dispensasi free repair kan? Padahal salah info dari elo. 3 hari aja, gimana?” Tegas Jihan, namun tetap dengan nada santai. Tapi mimik Jihan seolah tidak bisa dibantah. Jadi setelah terdiam beberapa saat Dias menangguk.

            “Oke, tiga hari lagi saya kasih kausnya di sini ya. Kali ini pasti yang ukuran kamu.” Niken berkata girang. Akhirnya perdebatan itu mencapai kesepakatan. Ia mengambil buku catatan dan pengukur badan. Jihan memperhatikan Niken bekerja, mengukur badan si Dias. Semoga tuh badan nggak nambah gede dalam waktu tiga hari. Pikir Jihan dalam hati.

            Tanpa Jihan sadari, sepasang mata memperhatikannya. Sejak awal Ardy sudah mengira Jihan itu galak. Karena pandangan matanya nggak menyiratkan kekaguman ketika melihat cowok itu. Senyum Ardy mengembang sedikit. Jarang ada cewek yang bersikap angkuh ketika bertemu dengannya. Sekalipun ada yang menjaga jarak, itu pasti karena minder akan perbedaan tampang.

            Jihan berbeda. Dari awal memang sikapnya acuh, cuek, nggak terlalu banyak omong kecuali untuk memojokkan Dias. Seperti bergerak sesuai misi. Bahkan saat ini, dimana jelas-jelas Ardy melayangkan godaan maut (menatap terus menerus) tetap tidak digubris oleh Jihan. Kalau cewek yang lain pasti sudah salting. Sedangkan Jihan dengan santainya menatap ke televisi flat di ujung restoran. Menyaksikan berita yang terjadi.

            “Kalian masih kuliah?” Ardy akhirnya tidak tahan untuk mengajak ngobrol.

            “Gue masih, Jihan udah lulus.” Niken menjawab dengan senyum termanisnya. Ardy balas tersenyum. Tapi obrolan itu gagal memancing Jihan keluar dari fokus TV.

            “Lagi nonton apa sih, kayaknya seru banget?” Ardy ikut menatap  ke TV. “Oh, Mesir.” Gumamnya kemudian. “Bahaya ya, rakyat mesir sampe nyerang pemerintah begitu. Anarkis.” Komentar Ardy, sengaja supaya Jihan membuka mulut. Tapi yang pertama terlihat adalah reaksi Jihan yang melirik tajam.

            “Lo tahu akar dari konflik itu?” Tanya Jihan sadis. Ia yakin cowok di depannya ini tidak tahu soal informasi itu. Dan ternyata benar, Ardy di buat agak salting dalam mencari jawaban pertanyaan Jihan.

            “Ya.. itu kan, nggak berpengaruh. Sekalinya anarkis tetap anarkis.” Ardy berusaha berkilah. Jihan mendesah. Percuma ia menimpali komentar Ardy dalam topik ini.

            “Jihan jurnalis sih, Di. Makanya dia agak sensi kalo soal berita-berita gitu.” Niken yang menimpali. Ia merasa kasihan pada Ardy. Sebenarnya bukan Ardy saja cowok yang menjadi sasaran kejudesan Jihan.

            Bilang kek dari tadi. Kan gue nggak perlu bikin malu diri gue sendiri. Ardy merutuk dalam hati. Namun, wajahnya tetap di usahakan ramah. Ia masih penasaran dengan Jihan.

            “Oh, gitu. Hebat dong, Jihan. Berarti kamu pinter.” Katanya.

            “Bukan cuma jurnalis yang pinter di dunia ini.” Sahut Jihan pendek.

            “Tapi jurnalis yang memegang informasi dunia. Merekalah yang memberitahu dunia kalo ada krisis yang terjadi. Tanpa mereka dunia buta. Itu hebat kan?” Ardy mahir dalam mencari pujian. Apalagi kalau sudah ketemu cewek cantik. Dan Jihan terlihat seperti tantangan yang harus di taklukan. Makanya ia harus cepat berpikir supaya bisa sejajar dengan cewek itu.

            Thanks for your compliment. Gue akan sampaikan ke rekan-rekan jurnalis di komunitas.” Jihan sedikit tersenyum. Tapi dia hanya basa-basi! Pujian seperti itu sudah sering ia dengar.

            “Itu pujian untuk lo sebenernya”

Hah! Klise. Umpat Jihan dalam hati. Ia melayangkan pandangan pada Niken yang sudah selesai  mengukur Diaz. Kemudian ia berdiri.

            “Udah selesai kan? Gue ada janji sama Ade. Mau ngajak makan bareng. Yuk pergi. Atau gue duluan?” Ia berkata dengan aura yang dirasa Niken sudah jelek. Niken segera membereskan pekerjaannya dan berbincang sedikit dengan Dias.

            “Nggak makan disini aja?” Tawar Ardy. Berusaha menahan Jihan pergi, ia tak akan menyerah semudah itu. Sekalipun Jihan sudah punya pacar.

            “Sori, lo nggak denger, tadi gue bilang ada janji duluan.”

            “Pacar lo ya?”

            “Lebih dari itu kayaknya.” Jihan mengerling sinis.

            “Oke, kami pamit ya.” Niken dan Jihan bergerak keluar dari restoran.

Hal seperti tadi memang bukan yang pertama kali terjadi. Tetapi Niken tetap sebal melihat tingkah Jihan kalau dalam keadaan seperti itu. Dulu, waktu di awal, Niken mengira kalau Jihan itu sombong. Namun, semakin mereka dekat, Niken jadi tahu alasan Jihan bukan karena besar kepala soal parasnya. Tapi lebih kepada prinsip. Cewek itu sangat keras kepala sih.

“Gue tau soal  prinsip lo, tapi seenggaknya lo bisa lebih enjoy kan tadi?” Komentar Niken saat mereka dalam perjalanan pulang.

First, gue lagi spaneng hari ini. Deadline sebentar lagi dan ada banyak naskah yang harus gue setor ke Wija. Second, tuh cowok emang pas banget jadi objek buat ngeluapin stress gue. See?” Jihan berkata tenang.

            “Jihaaan! Kalo lu kayak gitu mulu kapan dapet cowoknya?! Kagak bakal ada cowok yang mau sama elu!” Omel Niken kemudian.

            “Bukan lu yang nentuin jodoh gue.Ini adalah kata-kata pamungkas Jihan. Kalau ia sudah mengeluarkan kata-kata ini, Niken tak akan berani mengomel lagi.

            Jihan Mutia Salsabila, dilahirkan 23 tahun yang lalu pada pukul 9 malam. Kata ibunya, dari kecil Jihan sudah diperkirakan akan jadi sangat keras kepala. Kesimpulan itu di dapat karena Jihan lahir jam 9 malam hari senin. Tapi bagi Jihan itu sama sekali tidak berpengaruh! Sifat keras kepala yang ia punya menurun dari ayahnya. Jihan tahu pasti, soalnya ia dan Ayahnya sering berdebat.

            Sifat keras kepala ini juga berlaku di dalam kisah cinta gadis itu. Sampai di umur yang 23, Jihan belum juga punya pacar ataupun gebetan. Bukannya tidak laku, tapi gadis manis ini memang sengaja memberi jarak pada pria yang mendekat. Dulu ketika remaja Jihan masih bisa beralasan ‘belom waktunya pacaran. Sekolah dulu yang bener’. Tapi kini ia sudah berumur 23, umur yang kata teman-temannya ‘rentan kalo nggak dapat pacar’.

            “Nanti nggak bisa nikah loh.” Kata-kata itulah yang sering Niken ucapkan. Sindiran ini yang sering membuat Jihan kesal. Kalau Niken sudah mulai menyindir ia pasti langsung menjawab : “Emangnya harus pacaran dulu baru nikah?!” dengan nada sedikit melengking.

Tapi Jihan juga tak ingin jadi munafik. Jujur, dalam hati yang terdalam Jihan juga mendambakannya. Punya seseorang yang bisa jadi pelipur lara, mengobati sepi, menemani malam apabila datang sunyi, dan segudang kata-kata yang membuat ia menginginkan sosok ‘pacar’. Apalagi hasutan dari teman-temannya yang bilang ‘selagi muda harus menikmati hidup. Pacaran sekali dua kali sih tak apa. Lumayan, belajar untuk mencintai dan bisa observasi tentang kehidupan berpasangan. Katanya sih bisa jadi pengalaman untuk berumah tangga juga.’ Kalau untuk alasan yang terakhir Jihan agak sangsi. Karena ada beberapa temannya yang justru berumah tangga ‘duluan’ gara-gara mecoba konsep itu.

Entah, ada banyak faktor yang membuat Jihan kadang menginginkan sensasi berpacaran. Namun, disisi lain ada sesuatu yang memberontak di hatinya. Membuat ia langsung mundur seribu langkah ketika si calon pacar sudah bergerak maju. Cara mundurnya juga ekstrim banget. Sebelum mundur, gadis itu akan memberikan petuah sadis tentang idealisnya. Dan menyebabkan si ‘calon’ pacar akan pergi dan kabur teratur. Kalau ada lebah jantan yang ngeyel, Jihan bisa lebih kejam lagi. Lebah malang itu tak akan ia gubris sama sekali.

Sulit kan? Ada dua hal yang bertolak belakang di dalam dirinya. Ia sama sekali tak bisa menemukan mana yang benar. Ia harus jadi ‘normal’ sebagai wanita yang hidup di zaman android. Tapi ia juga ingin menjadi gadis yang berhasil mempertahankan harga dirinya. Entah dalam bentuk yang bagaimana sebuah harga diri di mata gadis itu.

Niken membawa Jihan dengan selamat sampai ke rumah. Kali ini Niken tidak mampir dulu karena pesanan Dias harus segera diurus. Namun, sebelum gadis itu pergi, ia masih sempat menceramahi Jihan. “Lo, kalo tetep kayak gini, bakal jadi Jones tau nggak. Jomblo ngeNes!”

Jihan tidak menanggapi. Semasa bodoh Niken mau ngomong apa. Soalnya saat melihat rumah, fokusnya sudah berpindah ke pekerjaan. Tumpukan draft artikel yang harus disempurnakan dan planning untuk topik artikel yang selanjutnya. Resiko jadi seorang jurnalis koran yang terbit setiap hari ya memang begitu. Harus siap diburu deadline.

Tapi saat masuk kedalam rumah, ia langsung tercengang melihat siapa yang datang. Gadis dengan jilbab dan gamis menutup tubuhnya. Sangat apik sampai Jihan jadi merasakan sesuatu yang aneh, itu mungkin rasa malu. Saat menengok, wajah sepupunya terlihat dengan senyum yang merekah.

“Anissa?” Gumam Jihan.

“Kak. Subhanallah, kakak jadi cantik banget!” katanya sambil menghampiri Jihan dan menyalami kakak sepupunya itu. Jihan jadi benar-benar malu, kata-kata itu harusnya ia tujukan untuk Anissa.

“Kamu baru pulang dari Kairo, Paman sama bibi nggak ikut kesini?”

“Mba Mar masih ngurus sesuatu di Kairo, jadi Nissa dititip dulu disini Han.” Ibu keluar dari dapur membawa tiga gelas es teh manis.

Mereka bertiga duduk sembari berbincang-bincang tentang kehidupan Anissa selama di Kairo. Ada ketenangan yang menjalar saat Jihan mengobrol dengan sepupunya itu. Juga sedikit iri, atas perubahan yang terjadi pada diri Anissa. Waktu kecil Anissa sangat keras kepala dan sering memanjat pohon. Justru Jihan yang lebih kalem dan lemah lembut. Tapi entah kenapa, saat dewasa kelakuan mereka malah jadi seperti bertukar. Itu pasti karena didikan Abi dan Umi, kedua orang tua Anissa yang membesarkan anak itu penuh kasih dan tuntunan agama. Apalagi beberapa tahun ini Anissa tinggal di Kairo, lingkungan elit yang sangat agamis. Sedangkan Jihan harus survive di tengah-tengah kota yang menuntut sikap tegas. Atau yang menurut pandangan Niken ‘sikap galak’.

“Terima kasih ya, bude. Aku udah di bolehin tinggal disini sementara Umi dan Abi ngurus surat-surat di Kairo.” Anissa tersenyum.

“Iya lah, Nis. Selama ini kamu kalau ke Indonesia-Jakarta juga pasti menginap disini. Nggak apa-apa. Nanti kamu bisa tidur di kamarnya Dita kayak dulu-dulu.” 

Bersambung ke HIJRAH HATI Page 2.

Setiap pembaca (yang kenal gue) mungkin berpikir kalau tokoh 'Jihan' ini merupakan cerminan dari prinsip gue. Tapi tetap kami adalah karakter yang berbeda. Jihan jauh lebih galak dan tegas atas prinsipnya. Sedangkan gue? Hahaha.... *sudahlah. 

Gue bukan jurnalis pro, jadi agak sulit menggambarkan Jihan dan pekerjaannya. Meskipun begitu gue tetep optimis melanjutkan cerita ini. Untuk para pembaca yang punya prinsip sama seperti Jihan, gue mohon dukungan berupa kritik dan masukan.

Terima kasih banyak!!! :D

Kalo mau copas ijin dulu yak. Dan tolong banget, komentarin karya gue. Mau kritik juga gapapa, asal nggak maki-maki pake kata-kata 'kurang pantas' aja. Hehehehehe,

 Salam,

LanLane

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dilema Pemimpin Hadapi Covid Nineteen

Sejak pasien positif virus Corona diumumkan pada dua maret, jumlah korban terus bertambah. Per tannggal hari ini, Senin, 30 April 2020, sudah tercatat 1.414 orang positif mengidap virus tersebut. Jumlah pasien yang sembuh mulai menanjak naik di angka 75. Sementara jumlah korban meninggal masih di angka mengkhawatirkan, yaitu 122.

TANTANGAN TEMEN : PACARAN

Jujur saya memang ingin menulis tentang 'pacaran'. Apalagi setelah beberapa temen saya menantang, semangat saya jadi berkobar-kobar. Tapi, sebelum lanjut baca ke bawah, saya minta, kalian para sobat membuka pikiran selebar-lebarnya. Karena mungkin tulisan ini akan mengandung beberapa kontra. Eh, gimana deh?  Cekidot! Saat temen saya tanya soal pacaran, hal pertama yang saya lakuin adalah browsing . Maaf, bukan berarti saya nggak ngerti soal tema yang akan dibahas. Tapi karena saya mau mencari beberapa pendapat umum soal pacaran. ;D Hasilnya saya menemukan kalimat ini di Wikipedia : Pacaran merupakan proses perkenalan antara dua insan manusia yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang dikenal dengan pernikahan. Pada kenyataannya, penerapan proses tersebut masih sangat jauh dari tujuan yang sebenarnya. Manusia yang belum cukup umur dan masih jauh dari kesiapan memenuhi persyaratan menuju pernikahan telah denga...

Misconceptions About Jihad

Culture, Social, Political, and Security In the Name of Allah, the Most Compassionate, the Most Merciful. And for Rasulullah Muhammad SAW, piece be upon him. At the beginning,  I should like to sincerely thank for your coming in this blog. In this changes I want to talk about jihad.  Have you ever heard about that before? I assume you are thinking about something wrong about that. The Arabic word "jihad" is often translated as "holy war”. However in a purely linguistic sense, the word " Jihad/Jahada” in Arabic means struggling or striving or make an effort. So, there are misunderstood concept about Jihad. The concept of ‘Jihad’ has been misconceptions is not among muslims but among non muslim also. There are political and religious groups who using ‘Jihad’ for their benefit, to justify various forms of violence. And if you hear the news about terrorism, sometimes you feel scary or inflamed your temper. And you’ll asking, why? Why they do that? Why ...