Langsung ke konten utama

FAST ZERO Page 2

Ini hari pertamaku di sekolah menengah atas Jacksonville. Seperti yang kuduga, Amerika adalah negara bebas. Jadi, sebagus-bagusnya sekolah yang kumasuki, pasti ada saja yang berciuman sebelum kelas dimulai. Aku menggaruk pelipis. Satu kebiasaan ketika aku sedang merasa heran. Walaupun aku juga sudah sering lihat yang seperti itu saat balapan, tapi rasanya aneh kalau dilakukan di sekolah. Kukira, mereka butuh budaya ketimuran yang masih mengedepankan norma asusila. Hahaha, sepertinya aku mulai menerapkan pola piker ‘anak baik-baik’. Janjiku untuk ayah.
“Julia Shadila?” Panggil seseorang di balik konter administrasi. “Ini adalah jadwal pelajaranmu untuk semester ganjil. Berusahalah untuk mengejar ketinggalan di semester genap.”Lanjutnya.
“Terima kasih.” Aku menerima 3 lembar kertas berisi jadwal dan form pengambilan buku pelajaran serta kunci loker. Petugas  administrasi yang kuketahui bernama  Alice Braun bergumam tidak jelas. sedikit kutangkap bahwa ia membicarakan kesalahan sekolah yang menerima murid beasiswa di semester ganjil. Aku menghela nafas dan meninggalkan Alice kribo. Mulai sekarang aku akan terus menjulukinya seperti itu. Merujuk pada rambutnya yang mengembang seperti brokoli.
Ketika melewati lorong aku berpapasan dengan banyak anak. Semua wajah dari berbagai ras bercampur aduk. Meski orang kulit putih masih menjadi dominan namun aku melihat teman sebaya yang bermata sipit dan berambut hitam. Lalu ada beberapa yang menarik perhatianku. Salah satunya cowok Korea, mungkin. Tebakanku berdasarkan betapa seringnya aku berinteraksi dengan orang dari negeri gingseng. Mataku terus mengikutinya sampai ia bertemu dengan cewek pirang kemudian berciuman. Iuh! Kesan pertama itu memang mengecewakan! Kuabaikan pemandangan itu dan pergi ke kelas biologi. Kelas pertamaku untuk hari ini.
Saat memasuki ambang pintu guru laki-laki dengan kemeja biru sudah siap dengan teleskopnya. Kehadiranku bersamaan dengan tiga murid lain. Tapi guru itu menatapku sembari tersenyum. Sudah pasti dia tahu kalau aku murid beasiswa. Kami bercakap sebentar lalu bel berdering nyaring. Saat kusadari kelas sudah penuh.
“Baiklah. Kita mulai hari ini dengan perkenalan murid baru.” Ucap Mr. Howard kencang. Perutku melilit ketika seluruh pandangan beralih kearahku. Ini bukan apa-apa. Jauh lebih mengerikan ketika aku sedang test wawancara untuk mendapatkan beasiswa.
“Namaku Julia Shadila dari Indonesia, salam kenal.” Ucapku agak kaku. Sial, kenapa di saat-saat seperti ini aku ingat salam ala Jepang?
“Indonesia? Memangnya ada negara dengan nama itu?” Celetuk salah seorang murid.
“Mungkin dekat antartika.”Salah seorang lagi menyahut.
“Aku ingat salah satu negara antah berantah yang dipenuhi monyet.” Ucapan ini mengundang tawa di seluruh penjuru kelas. Jelas Mr. Howard langsung menyuruh diam.
“Indonesia adalah salah satu negara kepulauan di wilayah asia timur. Bukan negeri antah berantah.”
Excuse me.”Aku memotong, jelas pengetahuan mereka sangat dangkal tentang negara tercintaku, Indonesia. “Indonesia adalah negara Maritim di Asia Tenggara, bukan timur.” Ralatku.
“Sangat bagus karena kami memiliki memiliki jumlah monyet langka yang banyak.” Ucapku bangga. Anak-anak yang mentertawaiku tadi terdiam tergantikan oleh anak lain yang tersenyum. Mataku menangkap beberapa anak yang menarik. Satu orang yang duduk di baris nomor 3 dari kiri. Ia tampan dengan hidung mancungnya. Oh, come on! Orang bule rata-rata memang punya hidung mancung.
Lalu di bangku pojok kanan belakang ada cowok dengan rambut hitam berwajah khas orang Meksiko. Ia juga tersenyum tapi tidak melihat kearahku. Hanya memainkan pensil dengan mimik malas. Tak ketinggalan para wanita berambut pirang yang duduk di dua baris paling depan. Jumlahnya ada tiga dan mereka semua melihat kearahku. Tersenyum sembari menimbang-nimbang. Oke, aku sudah menduga kehidupanku disekolah akan lumayan berat. Jadi, merekalah yang akan kuhadapi.
Setelah cukup menjadi bahan guyonan aku dipersilahkan duduk. Salah satu anak yang berbadan gempal iseng menyengkat kakiku. Sayangnya aku tidak selemah yang ia pikir. Bukannya tersengkat aku malah dengan sengaja mengencangkan jalanku supaya tulang keringnya tertendang. Aku berhasil. Ia mengaduh.
“Maaf,”Ucapku dengan nada bersalah. Segera saja kuambil bangku kosong kedua dari belakang. Berserongan dengan pria Meksiko berambut hitam yang tersenyum tadi.

Setelah jam pelajaran habis kuputuskan untuk menyukai pelajaran Biologi. Mr.Howard mengajar dengan sangat baik sehingga apa yang dijelaskan bisa langsung kutangkap. Berbeda dengan kelas berikutnya yaitu matematika. Entah kenapa di pelajaran ini aku merasa ngantuk. Lebih enak belajar sendiri daripada mendengarkan Mrs. Helena. Wanita setengah baya itu menerangkan dengan gaya mendongeng. Beruntung setelah itu adalah pelajaran olahraga. Disesi ini aku berkenalan dengan orang asia bernama Luna. Ia menjelaskan padaku bahwa trio pirang yang tadi aku perhatikan adalah larangan untuk bergaul.
“Christa, Isabella dan Tanya bukan gadis-gadis yang bisa kau ajak bercanda. Mereka nggak akan menerima pendapatmu kalau itu bertentangan dengan pendapat mereka.” Luna mewanti-wanti. Matanya yang sipit sangat menjiwai cerita seram itu. Sekilas aku jadi ingat novel teenlit tentang gangster cewek SMA. Mengerikan.
“Dan jangan dekati Brandon Wolf.” Luna menunjuk cowok tampan berhidung mancung yang kini sudah bermain basket di lapangan. “Itu pacar Tanya.”
“Kecil kemungkinannya aku bakal pacaran.” Ucapku tenang. Niatku ke Amerika memang bukan untuk cari cowok.
“Wah, kamu akan berubah pikiran kalau lihat Jacob Cylone.” Kini mata Luna tertuju pada pria Meksiko yang sedang mendrible bola basket. Hasil operan dari Brandon. Bisepnya terlihat jelas saat ia mengenakan pakaian olahraga. Dan daya tariknya memang sangat kuat sih. Kuakui itu.
“Rambut hitam itu membuatnya terlihat makin seksi kan? Sama seperti kita.” Luna mengangkat sejumput rambutnya yang sama sepertiku. Hitam namun agak kemerahan. Luna adalah gadis Hongkong yang pindah ke Amerika karena ingin belajar seni peran. Namun, orang tuanya lebih suka Luna menjadi seorang insinyur. Jadilah ia masuk ke sekolah dengan standar yang tinggi ini.
“Hei, yang disana!” Seru Paul McNeger, guru olahraga kami. Ia memanggil aku dan Luna untuk ikut dalam permainan mini di lapangan basket. Langsung saja kami bergabung dengan kerumunan perempuan di sekitar pelatih. Para pria sudah istirahat di pinggir lapangan. Mereka meminum isotonik sembari memperhatikan ke arah kami. Sebagian bersorak untuk Isabella dan Christa. Aku menggaruk pelipis.
Regu dibagi menjadi dua. Masing-masing lima pemain. Aku otomatis se-regu dengan Luna dan sialnya juga bersama Tanya. Christa dan Isabella menjadi lawan kami. Saat kami diberi waktu untuk pemanasan aku langsung bergerak semangat. Tapi sepertinya hanya aku yang semangat. Karena yang lain melakukannya dengan pelan dan santai termasuk Luna. Tidak apa-apa lah. Ini adalah tanding basket dan aku sadar bahwa tinggiku kurang memadai. Selisihku dengan Tanya saja sudah lebih dari lima senti. Padahal ia gadis terpendek di geng cewek pirang. Luna sih masih lumayan, tingginya menyamai Tanya. Karena itu aku harus sadar diri. Pemanasanku harus lebih ekstra. Aku melompat-lompat pendek. Beruntung sepatu yang kupakai khusus untuk lantai lapangan basket. Pantulannya enak sekali. Bisa menambah lompatan barang 5-7cm. Aku juga bersyukur karena dadaku ini rata. Tapi bukan berarti tidak ada lho ya. Aku bisa meminimalisir pandangan cowok ketika sedang melompat. Apalagi seragam olahragaku besar. Aku tertawa dalam hati. Rasanya berbeda dengan orang lain itu sangat menyenangkan.
“Hey, monyet. Sekarang kau ingin berubah menjadi kelinci?” Christa mengolok-olok. Aku tidak peduli bahkan ketika sebagian anak gadis ikut mentertawaiku.
“Ini pemanasan.” Ucapku sembari berhenti melompat. Senyumku tak absen dari wajah. Basa-basi itu perlu meskipun sedang di negara asing.
Christa tidak menanggapi aku lagi karena bunyi peluit memaksa kami untuk bersiap di posisi masing-masing. Permainan basket berlangsung alot. Tidak di Indonesia, tidak di Amerika keduanya sama saja. Tapi memang permainan anak-anak ini lebih bagus. Setidaknya mereka bisa membedakan mana permainan bola basket, mana arisan.
Hampir 10 menit tidak ada rekan yang mengoper ke arahku, bahkan Luna. Ia memanfaatkan bola yang datang untuk memamerkan diri. Mendrible dan memecah pertahanan tim lawan sendirian. Sayangnya Isabella selalu bisa memotong. Gadis itu jauh lebih ahli dalam hal bermain basket dan menarik perhatian para cowok. Secara teknis timku lebih piawai karena Tanya dan Luna memang pintar bermain bola basket. Sedangkan di tim lawan hanya Isabella yang nampak punya bakat olahraga. Makanya bola selalu berhasil kami rebut. Tapi sangat sulit untuk shoot karena keberadaan Isabella.
 Akhirnya kesempatanku datang. Ke-empat rekanku sudah sulit bergerak karena masing-masing di jaga oleh tim lawan. Mau tidak mau Tanya mengoper ke arahku. Baguslah, aku sudah gatal karena melihat skor yang tidak bergerak. Disaat-saat seperti ini aku bersyukur punya badan yang fleksibel atau dalam artian lain… kecil. Gerakanku lincah dan dengan mudah aku bisa masuk ke posisi three point. Meskipun sulit aku memang sengaja mengincar posisi ini karena bisa mendapatkan skor dengan mudah. Jujur saja, aku ini mantan pemain basket dan pernah menjuarai O2SN tingkat provinsi di SMP. Dan aku mendapat julukan the queen of three point shoot.
Priiiiittt! Suara peluit itu menandakan skor pertama tim kami. Ketika berbalik menghadap Tanya dan Luna, mereka sedang menatapku dengan bingung. Aku menebak apa yang mereka pikirkan. Mungkin bunyinya seperti ini : si pendek itu bisa melakukan three point shoot? Pasti bohong!
ha-ha-ha. Sayangnya itu benar, girls. Jadi tolong perlakukan aku sebagai anggota tim. Kutembakan kalimat itu lewat mataku. Sepertinya Tanya mengerti, karena di babak selanjutnya ia selalu mencoba mengoper bola ke arahku. Dan itu membuat badanku diseruduk salah satu anggota tim Isabella yang bertubuh gempal.

Hasil akhirnya kami menang. Meskipun aku harus menderita memar di bagian kaki dan bahu. Cewek gempal itu benar-benar menyerang sekuat tenaga. Aku mendesah dan kemudian meringis ketika hendak menutup loker. Satu gerakan saja bisa membuat pundakku nyeri. Tapi ini bukan apa-apa dibandingkan dengan latihan pencak silat dulu.
            “Julia?” Panggil seseorang yang muncul dari balik pintu loker. Brandon Wolf? Lokernya ada disebelahku? Masa?
            “Lumayan dapat serangan dari Brigitta.” Bibirnya tertarik kebelakang. Itu cengiran yang paling indah selama aku pindah kesini. Namun aku berusaha keras untuk menyembunyikan ekspresi terpesona.
            “Lumayan.” Aku nyengir sembari mengerutkan alis. “Seenggaknya aku masih hidup.” Balasku setengah bergurau. Mengunci loker kemudian beranjak pergi. Rupa-rupanya Brandon mengikuti di sampingku! Aduh.
            “Lumayan juga, untuk manusia kecil sepertimu bisa mencetak angka dari posisi itu. Powermu sangat bagus.” Katanya.
            “Practice make perfect.” Aku menggunakan pepatah lama sebagai balasan. Brandon tertawa.
            “Darimana asalmu tadi?”
            “Indonesia.”
            “Di sebelah mananya China?”
Aku berfikir sebentar. Kebetulan di dinding depan kami tertempel peta dunia. Aku langsung berjalan mendekat dan menunjuk kepulauan di atas benua Australia.
            “Negara cantik dengan keindahan alamnya yang menakjubkan.” Kataku menggebu. Brandon melihat ke peta sesaat, kemudian melihatku lalu ke peta lagi.
            “Ini Bali?” tunjuk Brandon pada salah satu pulau kecil di wilayah Indonesia. “Ibuku pernah mengajak kesana. Katanya itu adalah surga dunia. Tapi aku belum sempat pergi.”
            “Suatu saat pergilah kesana. Pantainya sangat cantik dan lautnya luar biasa.” Aku tidak bisa berhenti mempromosikan Negeri sendiri. Brandon tersenyum dan mengangguk. Ia memasukan dua tangannya ke saku celana. Tidak lama, tangan kanannya menarik secarik kertas.
            “Ngomong-ngomng soal pantai. Kau bisa datang ke pesta minggu ini? Ulang tahun Bella, tapi sebenarnya itu hanya alasan karena kami memang pergi ke pantai setiap sebulan sekali.” Brandon memberikan kertas tersebut padaku. Aku pernah lihat adegan ini di film-film Hollywood. Kukira bohongan, ternyata pesta pantai itu memang dilakukan. Agak bahaya sih, tapi biarlah. Kalau ada hal aneh terjadi aku akan langsung kabur. Semoga.
                 “Oke.” Jawabku enteng. Brandon tersenyum lagi setelahnya ia pergi.

            Sepulang sekolah aku langsung melemparkan diri ke kasur. Letih sekali. Apalagi badanku nyeri karena harus kena serangan Brigitta. Mrs.Park menawariku untuk pergi ke dokter. Tapi aku menolak karena hal ini sudah biasa terjadi. Dalam remang-remang cahaya sore aku memikirkan kembali kejadian hari ini. Sebenarnya hatiku berdebar-debar. Ini memang bukan pengalaman pertamaku ke luar negeri. Tapi ini pertama kalinya aku memutuskan untuk hidup lama tanpa pengawasan Ayah. Berteman dengan Luna, Brandon ataupun Tanya pasti akan membuat Ayahku panik. Ya sudah, aku sedang tidak ingin berpikir tentang Ayah.
Dalam hitungan detik badanku bangkit menarik netbook dari dalam tas. Membuka data ibuku sendiri dengan format kependudukan Jacksonville. Dia adalah seorang arkeolog wanita. Satu-satunya perwakilan dari Indonesia untuk penelitian kota suku Inka. Makanya ketika aku berumur 4 tahun dia pergi meninggalkanku. Obesesinya terhadap kehidupan lampau sangat besar. Lebih besar daripada tanggung jawab mengurus bayi perempuannya yang mungil.
                  “Julia.” Mrs. Park mengetuk pintu kamarku. Kemudian ia masuk.
            “Aku bawakan kudapan untukmu.” Katanya sembari meletakan sepiring cookie dan susu di meja lampu.
            “Thanks.” Aku tersenyum. “Oh, Mrs. Park apa anda tahu tentang kantor khusus untuk penelitian dan arkeologi?”
            “Hmm… aku kurang tahu. Tapi kota ini punya museum prasejarah di 1025 Museum Cir. Letaknya tidak jauh dari pantai, kau tahu Northbank Riverwalk?”
            “Maksudnya museum sains dan sejarah ya?” Aku mengetik MOSH di panel browser. Lalu muncul sederet informasi mengenai museum satu-satunya milik Jacksonville. Museum ini sangat kecil untuk punya tim arkeolog. Tapi tidak ada salahnya mampir ke tempat ini untuk awal pencarian ibuku.
            “Kenapa? Kau tertarik degan sejarah?”
            “Ya, begitulah.” Aku mengangguk. Penting untuk tidak memberitahu Mrs. Park bahwa tujuanku yang sebenarnya ke Amerika adalah untuk mencari Ibu. Karena keluarga dari pihak Ayahku cenderung membencinya. Kalau Toni sampai dengar aku mencari ibu, pasti dia akan langsung menarikku pulang ke Jakarta.


Bersambung ke Fast Zero Page 3.

Kalo mau copas ijin dulu yak. Dan tolong banget, komentarin karya gue. Mau kritik juga gapapa, asal nggak maki-maki pake kata-kata 'kurang pantas' aja. Hehehehehe,
 Salam,
LanLane

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANTANGAN TEMEN : PACARAN

Jujur saya memang ingin menulis tentang 'pacaran'. Apalagi setelah beberapa temen saya menantang, semangat saya jadi berkobar-kobar. Tapi, sebelum lanjut baca ke bawah, saya minta, kalian para sobat membuka pikiran selebar-lebarnya. Karena mungkin tulisan ini akan mengandung beberapa kontra. Eh, gimana deh?  Cekidot! Saat temen saya tanya soal pacaran, hal pertama yang saya lakuin adalah browsing . Maaf, bukan berarti saya nggak ngerti soal tema yang akan dibahas. Tapi karena saya mau mencari beberapa pendapat umum soal pacaran. ;D Hasilnya saya menemukan kalimat ini di Wikipedia : Pacaran merupakan proses perkenalan antara dua insan manusia yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang dikenal dengan pernikahan. Pada kenyataannya, penerapan proses tersebut masih sangat jauh dari tujuan yang sebenarnya. Manusia yang belum cukup umur dan masih jauh dari kesiapan memenuhi persyaratan menuju pernikahan telah denga...

Dilema Pemimpin Hadapi Covid Nineteen

Sejak pasien positif virus Corona diumumkan pada dua maret, jumlah korban terus bertambah. Per tannggal hari ini, Senin, 30 April 2020, sudah tercatat 1.414 orang positif mengidap virus tersebut. Jumlah pasien yang sembuh mulai menanjak naik di angka 75. Sementara jumlah korban meninggal masih di angka mengkhawatirkan, yaitu 122.

Misconceptions About Jihad

Culture, Social, Political, and Security In the Name of Allah, the Most Compassionate, the Most Merciful. And for Rasulullah Muhammad SAW, piece be upon him. At the beginning,  I should like to sincerely thank for your coming in this blog. In this changes I want to talk about jihad.  Have you ever heard about that before? I assume you are thinking about something wrong about that. The Arabic word "jihad" is often translated as "holy war”. However in a purely linguistic sense, the word " Jihad/Jahada” in Arabic means struggling or striving or make an effort. So, there are misunderstood concept about Jihad. The concept of ‘Jihad’ has been misconceptions is not among muslims but among non muslim also. There are political and religious groups who using ‘Jihad’ for their benefit, to justify various forms of violence. And if you hear the news about terrorism, sometimes you feel scary or inflamed your temper. And you’ll asking, why? Why they do that? Why ...