Ini hari pertamaku di sekolah menengah atas Jacksonville.
Seperti yang kuduga, Amerika adalah negara bebas. Jadi, sebagus-bagusnya
sekolah yang kumasuki, pasti ada saja yang berciuman sebelum kelas dimulai. Aku
menggaruk pelipis. Satu kebiasaan ketika aku sedang merasa heran. Walaupun aku
juga sudah sering lihat yang seperti itu saat balapan, tapi rasanya aneh kalau
dilakukan di sekolah. Kukira, mereka butuh budaya ketimuran yang masih
mengedepankan norma asusila. Hahaha, sepertinya aku mulai menerapkan pola piker
‘anak baik-baik’. Janjiku untuk ayah.
“Julia
Shadila?” Panggil seseorang di balik konter administrasi. “Ini adalah jadwal
pelajaranmu untuk semester ganjil. Berusahalah untuk mengejar ketinggalan di
semester genap.”Lanjutnya.
“Terima
kasih.” Aku menerima 3 lembar kertas berisi jadwal dan form pengambilan buku
pelajaran serta kunci loker. Petugas
administrasi yang kuketahui bernama
Alice Braun bergumam tidak jelas. sedikit kutangkap bahwa ia
membicarakan kesalahan sekolah yang menerima murid beasiswa di semester ganjil.
Aku menghela nafas dan meninggalkan Alice
kribo. Mulai sekarang aku akan terus menjulukinya seperti itu. Merujuk pada
rambutnya yang mengembang seperti brokoli.
Ketika
melewati lorong aku berpapasan dengan banyak anak. Semua wajah dari berbagai
ras bercampur aduk. Meski orang kulit putih masih menjadi dominan namun aku
melihat teman sebaya yang bermata sipit dan berambut hitam. Lalu ada beberapa
yang menarik perhatianku. Salah satunya cowok Korea, mungkin. Tebakanku
berdasarkan betapa seringnya aku berinteraksi dengan orang dari negeri
gingseng. Mataku terus mengikutinya sampai ia bertemu dengan cewek pirang
kemudian berciuman. Iuh! Kesan pertama itu memang mengecewakan! Kuabaikan
pemandangan itu dan pergi ke kelas biologi. Kelas pertamaku untuk hari ini.
Saat
memasuki ambang pintu guru laki-laki dengan kemeja biru sudah siap dengan
teleskopnya. Kehadiranku bersamaan dengan tiga murid lain. Tapi guru itu
menatapku sembari tersenyum. Sudah pasti dia tahu kalau aku murid beasiswa.
Kami bercakap sebentar lalu bel berdering nyaring. Saat kusadari kelas sudah
penuh.
“Baiklah.
Kita mulai hari ini dengan perkenalan murid baru.” Ucap Mr. Howard kencang.
Perutku melilit ketika seluruh pandangan beralih kearahku. Ini bukan apa-apa.
Jauh lebih mengerikan ketika aku sedang test wawancara untuk mendapatkan
beasiswa.
“Namaku
Julia Shadila dari Indonesia,
salam kenal.” Ucapku agak kaku. Sial, kenapa di saat-saat seperti ini aku ingat
salam ala Jepang?
“Indonesia?
Memangnya ada negara dengan nama itu?” Celetuk salah seorang murid.
“Mungkin
dekat antartika.”Salah seorang lagi menyahut.
“Aku
ingat salah satu negara antah berantah yang dipenuhi monyet.” Ucapan ini
mengundang tawa di seluruh penjuru kelas. Jelas Mr. Howard langsung menyuruh
diam.
“Indonesia adalah salah satu negara kepulauan di
wilayah asia timur. Bukan negeri antah
berantah.”
“Excuse
me.”Aku memotong, jelas pengetahuan mereka sangat dangkal tentang negara
tercintaku, Indonesia.
“Indonesia
adalah negara Maritim di Asia Tenggara, bukan timur.” Ralatku.
“Sangat
bagus karena kami memiliki memiliki jumlah monyet langka yang banyak.” Ucapku
bangga. Anak-anak yang mentertawaiku tadi terdiam tergantikan oleh anak lain
yang tersenyum. Mataku menangkap beberapa anak yang menarik. Satu orang yang
duduk di baris nomor 3 dari kiri. Ia tampan dengan hidung mancungnya. Oh, come
on! Orang bule rata-rata memang punya hidung mancung.
Lalu
di bangku pojok kanan belakang ada cowok dengan rambut hitam berwajah khas
orang Meksiko. Ia juga tersenyum tapi tidak melihat kearahku. Hanya memainkan
pensil dengan mimik malas. Tak ketinggalan para wanita berambut pirang yang
duduk di dua baris paling depan. Jumlahnya ada tiga dan mereka semua melihat
kearahku. Tersenyum sembari menimbang-nimbang. Oke, aku sudah menduga
kehidupanku disekolah akan lumayan berat. Jadi, merekalah yang akan kuhadapi.
Setelah
cukup menjadi bahan guyonan aku dipersilahkan duduk. Salah satu anak yang
berbadan gempal iseng menyengkat kakiku. Sayangnya aku tidak selemah yang ia
pikir. Bukannya tersengkat aku malah dengan sengaja mengencangkan jalanku
supaya tulang keringnya tertendang. Aku berhasil. Ia mengaduh.
“Maaf,”Ucapku
dengan nada bersalah. Segera saja kuambil bangku kosong kedua dari belakang.
Berserongan dengan pria Meksiko berambut hitam yang tersenyum tadi.
Setelah
jam pelajaran habis kuputuskan untuk menyukai pelajaran Biologi. Mr.Howard
mengajar dengan sangat baik sehingga apa yang dijelaskan bisa langsung
kutangkap. Berbeda dengan kelas berikutnya yaitu matematika. Entah kenapa di
pelajaran ini aku merasa ngantuk. Lebih enak belajar sendiri daripada
mendengarkan Mrs. Helena. Wanita setengah baya itu menerangkan dengan gaya mendongeng.
Beruntung setelah itu adalah pelajaran olahraga. Disesi ini aku berkenalan
dengan orang asia bernama Luna. Ia menjelaskan
padaku bahwa trio pirang yang tadi aku perhatikan adalah larangan untuk
bergaul.
“Christa,
Isabella dan Tanya bukan gadis-gadis yang bisa kau ajak bercanda. Mereka nggak
akan menerima pendapatmu kalau itu bertentangan dengan pendapat mereka.” Luna
mewanti-wanti. Matanya yang sipit sangat menjiwai cerita seram itu. Sekilas aku
jadi ingat novel teenlit tentang gangster cewek SMA. Mengerikan.
“Dan
jangan dekati Brandon Wolf.” Luna menunjuk cowok tampan berhidung mancung yang
kini sudah bermain basket di lapangan. “Itu pacar Tanya.”
“Kecil
kemungkinannya aku bakal pacaran.” Ucapku tenang. Niatku ke Amerika memang
bukan untuk cari cowok.
“Wah,
kamu akan berubah pikiran kalau lihat Jacob Cylone.” Kini mata Luna tertuju
pada pria Meksiko yang sedang mendrible bola basket. Hasil operan dari Brandon. Bisepnya
terlihat jelas saat ia mengenakan pakaian olahraga. Dan daya tariknya memang
sangat kuat sih. Kuakui itu.
“Rambut
hitam itu membuatnya terlihat makin seksi kan? Sama seperti kita.” Luna mengangkat
sejumput rambutnya yang sama sepertiku. Hitam namun agak kemerahan. Luna adalah
gadis Hongkong yang pindah ke Amerika karena ingin belajar seni peran. Namun,
orang tuanya lebih suka Luna menjadi seorang insinyur. Jadilah ia masuk ke
sekolah dengan standar yang tinggi ini.
“Hei,
yang disana!” Seru Paul McNeger, guru olahraga kami. Ia memanggil aku dan Luna
untuk ikut dalam permainan mini di lapangan basket. Langsung saja kami
bergabung dengan kerumunan perempuan di sekitar pelatih. Para
pria sudah istirahat di pinggir lapangan. Mereka meminum isotonik sembari
memperhatikan ke arah kami. Sebagian bersorak untuk Isabella dan Christa. Aku
menggaruk pelipis.
Regu
dibagi menjadi dua. Masing-masing lima
pemain. Aku otomatis se-regu dengan Luna dan sialnya juga bersama Tanya.
Christa dan Isabella menjadi lawan kami. Saat kami diberi waktu untuk pemanasan
aku langsung bergerak semangat. Tapi sepertinya hanya aku yang semangat. Karena
yang lain melakukannya dengan pelan dan santai termasuk Luna. Tidak apa-apa
lah. Ini adalah tanding basket dan aku sadar bahwa tinggiku kurang memadai.
Selisihku dengan Tanya saja sudah lebih dari lima senti. Padahal ia gadis terpendek di
geng cewek pirang. Luna sih masih lumayan, tingginya menyamai Tanya. Karena itu
aku harus sadar diri. Pemanasanku harus lebih ekstra. Aku melompat-lompat
pendek. Beruntung sepatu yang kupakai khusus untuk lantai lapangan basket.
Pantulannya enak sekali. Bisa menambah lompatan barang 5-7cm. Aku juga
bersyukur karena dadaku ini rata. Tapi bukan berarti tidak ada lho ya. Aku bisa
meminimalisir pandangan cowok ketika sedang melompat. Apalagi seragam
olahragaku besar. Aku tertawa dalam hati. Rasanya berbeda dengan orang lain itu
sangat menyenangkan.
“Hey,
monyet. Sekarang kau ingin berubah menjadi kelinci?” Christa mengolok-olok. Aku
tidak peduli bahkan ketika sebagian anak gadis ikut mentertawaiku.
“Ini
pemanasan.” Ucapku sembari berhenti melompat. Senyumku tak absen dari wajah.
Basa-basi itu perlu meskipun sedang di negara asing.
Christa
tidak menanggapi aku lagi karena bunyi peluit memaksa kami untuk bersiap di
posisi masing-masing. Permainan basket berlangsung alot. Tidak di Indonesia,
tidak di Amerika keduanya sama saja. Tapi memang permainan anak-anak ini lebih
bagus. Setidaknya mereka bisa membedakan mana permainan bola basket, mana
arisan.
Hampir
10 menit tidak ada rekan yang mengoper ke arahku, bahkan Luna. Ia memanfaatkan
bola yang datang untuk memamerkan diri. Mendrible dan memecah pertahanan tim
lawan sendirian. Sayangnya Isabella selalu bisa memotong. Gadis itu jauh lebih
ahli dalam hal bermain basket dan menarik perhatian para cowok. Secara teknis
timku lebih piawai karena Tanya dan Luna memang pintar bermain bola basket.
Sedangkan di tim lawan hanya Isabella yang nampak punya bakat olahraga. Makanya
bola selalu berhasil kami rebut. Tapi sangat sulit untuk shoot karena
keberadaan Isabella.
Akhirnya kesempatanku datang. Ke-empat rekanku
sudah sulit bergerak karena masing-masing di jaga oleh tim lawan. Mau tidak mau
Tanya mengoper ke arahku. Baguslah, aku sudah gatal karena melihat skor yang
tidak bergerak. Disaat-saat seperti ini aku bersyukur punya badan yang fleksibel
atau dalam artian lain… kecil. Gerakanku lincah dan dengan mudah aku bisa masuk
ke posisi three point. Meskipun sulit aku memang sengaja mengincar
posisi ini karena bisa mendapatkan skor dengan mudah. Jujur saja, aku ini
mantan pemain basket dan pernah menjuarai O2SN tingkat provinsi di SMP. Dan aku
mendapat julukan the queen of three point shoot.
Priiiiittt!
Suara peluit itu menandakan skor pertama tim kami. Ketika berbalik menghadap
Tanya dan Luna, mereka sedang menatapku dengan bingung. Aku menebak apa yang
mereka pikirkan. Mungkin bunyinya seperti ini : si pendek itu bisa melakukan
three point shoot? Pasti bohong!
ha-ha-ha.
Sayangnya itu benar, girls. Jadi tolong perlakukan aku sebagai anggota
tim. Kutembakan kalimat itu lewat mataku. Sepertinya Tanya mengerti, karena di
babak selanjutnya ia selalu mencoba mengoper bola ke arahku. Dan itu membuat
badanku diseruduk salah satu anggota tim Isabella yang bertubuh gempal.
Hasil
akhirnya kami menang. Meskipun aku harus menderita memar di bagian kaki dan
bahu. Cewek gempal itu benar-benar menyerang sekuat tenaga. Aku mendesah dan
kemudian meringis ketika hendak menutup loker. Satu gerakan saja bisa membuat
pundakku nyeri. Tapi ini bukan apa-apa dibandingkan dengan latihan pencak silat
dulu.
“Julia?” Panggil seseorang yang
muncul dari balik pintu loker. Brandon Wolf? Lokernya ada disebelahku? Masa?
“Lumayan dapat serangan dari
Brigitta.” Bibirnya tertarik kebelakang. Itu cengiran yang paling indah selama
aku pindah kesini. Namun aku berusaha keras untuk menyembunyikan ekspresi
terpesona.
“Lumayan.” Aku nyengir sembari
mengerutkan alis. “Seenggaknya aku masih hidup.” Balasku setengah bergurau.
Mengunci loker kemudian beranjak pergi. Rupa-rupanya Brandon mengikuti di sampingku! Aduh.
“Lumayan juga, untuk manusia kecil
sepertimu bisa mencetak angka dari posisi itu. Powermu sangat bagus.” Katanya.
“Practice make perfect.” Aku
menggunakan pepatah lama sebagai balasan. Brandon
tertawa.
“Darimana asalmu tadi?”
“Indonesia.”
“Di sebelah mananya China?”
Aku berfikir
sebentar. Kebetulan di dinding depan kami tertempel peta dunia. Aku langsung
berjalan mendekat dan menunjuk kepulauan di atas benua Australia.
“Negara cantik dengan keindahan
alamnya yang menakjubkan.” Kataku menggebu. Brandon melihat ke peta sesaat, kemudian
melihatku lalu ke peta lagi.
“Ini Bali?” tunjuk Brandon
pada salah satu pulau kecil di wilayah Indonesia. “Ibuku pernah mengajak
kesana. Katanya itu adalah surga dunia. Tapi aku belum sempat pergi.”
“Suatu saat pergilah kesana.
Pantainya sangat cantik dan lautnya luar biasa.” Aku tidak bisa berhenti
mempromosikan Negeri sendiri. Brandon
tersenyum dan mengangguk. Ia memasukan dua tangannya ke saku celana. Tidak
lama, tangan kanannya menarik secarik kertas.
“Ngomong-ngomng soal pantai. Kau bisa
datang ke pesta minggu ini? Ulang tahun Bella, tapi sebenarnya itu hanya alasan
karena kami memang pergi ke pantai setiap sebulan sekali.” Brandon memberikan kertas tersebut padaku.
Aku pernah lihat adegan ini di film-film Hollywood.
Kukira bohongan, ternyata pesta pantai itu memang dilakukan. Agak bahaya sih,
tapi biarlah. Kalau ada hal aneh terjadi aku akan langsung kabur. Semoga.
“Oke.” Jawabku enteng. Brandon tersenyum lagi
setelahnya ia pergi.
Sepulang sekolah aku langsung
melemparkan diri ke kasur. Letih sekali. Apalagi badanku nyeri karena harus
kena serangan Brigitta. Mrs.Park menawariku untuk pergi ke dokter. Tapi aku
menolak karena hal ini sudah biasa terjadi. Dalam remang-remang cahaya sore aku
memikirkan kembali kejadian hari ini. Sebenarnya hatiku berdebar-debar. Ini
memang bukan pengalaman pertamaku ke luar negeri. Tapi ini pertama kalinya aku
memutuskan untuk hidup lama tanpa pengawasan Ayah. Berteman dengan Luna, Brandon ataupun Tanya
pasti akan membuat Ayahku panik. Ya sudah, aku sedang tidak ingin berpikir
tentang Ayah.
Dalam
hitungan detik badanku bangkit menarik netbook dari dalam tas. Membuka data
ibuku sendiri dengan format kependudukan Jacksonville.
Dia adalah seorang arkeolog wanita. Satu-satunya perwakilan dari Indonesia untuk penelitian kota suku Inka. Makanya ketika aku berumur 4
tahun dia pergi meninggalkanku. Obesesinya terhadap kehidupan lampau sangat
besar. Lebih besar daripada tanggung jawab mengurus bayi perempuannya yang
mungil.
“Julia.” Mrs. Park mengetuk pintu
kamarku. Kemudian ia masuk.
“Aku bawakan kudapan untukmu.”
Katanya sembari meletakan sepiring cookie dan susu di meja lampu.
“Thanks.” Aku tersenyum. “Oh,
Mrs. Park apa anda tahu tentang kantor khusus untuk penelitian dan arkeologi?”
“Hmm… aku kurang tahu. Tapi kota ini punya museum
prasejarah di 1025 Museum Cir. Letaknya tidak jauh dari pantai, kau tahu
Northbank Riverwalk?”
“Maksudnya museum sains dan sejarah
ya?” Aku mengetik MOSH di panel browser. Lalu muncul sederet informasi mengenai
museum satu-satunya milik Jacksonville.
Museum ini sangat kecil untuk punya tim arkeolog. Tapi tidak ada salahnya
mampir ke tempat ini untuk awal pencarian ibuku.
“Kenapa? Kau tertarik degan
sejarah?”
“Ya, begitulah.” Aku mengangguk.
Penting untuk tidak memberitahu Mrs. Park bahwa tujuanku yang sebenarnya ke
Amerika adalah untuk mencari Ibu. Karena keluarga dari pihak Ayahku cenderung
membencinya. Kalau Toni sampai dengar aku mencari ibu, pasti dia akan langsung
menarikku pulang ke Jakarta.
Bersambung ke Fast Zero Page 3.
Kalo
mau copas ijin dulu yak. Dan tolong banget, komentarin karya gue. Mau
kritik juga gapapa, asal nggak maki-maki pake kata-kata 'kurang pantas'
aja. Hehehehehe,
Salam,
LanLane
Komentar
Posting Komentar
Yok, yang mau komen harap sopan ya~
Kalau tidak sopan pemilik blog berhak untuk menghapus komentar tersebut.
Terima kasih~