Mata ini menatap rancu. Pada layar laptop
bergambar kertas putih dengan background biru muda. Tangan-pun berhenti
mengetik, karena semua kata yang sudah kusimpan dikepala perlahan lenyap.
Seperti habis diserap sunyi. Sama sekali tak bersisa barang sehurufpun. Sesaat,
aku tertegun, mengeluh, menengadahkan wajah. Menatap pada langit-langit kamar
dan siluet ujung jilbabku.
Apa yang terjadi? Kenapa pada saat-saat
seperti ini selalu datang pilu. Menyusup dan menikam tiba-tiba. Saat sadar ia
sudah merajai, menghentikan gairahku pada semua hal. Membuatku terpaku dan
enggan melakukan sesuatu. Mungkinkah ini yang di sebut ‘kehampaan’?
Apa definisi kehampaan? Sepi? Kosong?
Hambar? Ah, kurasa itu hanya sebuah sinonim. Yang kutahu ia selalu datang di
waktu tertentu. Seperti kekasih yang rutin menghampiri pasangannya. Begitulah
kehampaan bagiku, sesuatu yang sulit hilang.
Mataku melirik ke arah dapur. Di sana
ibu sibuk mengaduk seuatu di dalam panci. Aku tahu itu adalah bubur kacang
hijau kesukaan ayah. Senyumku merekah, membayangkan akan jadi senikmat apa
masakan ibu yang dibuat dengan penuh cinta, untuk Ayah. Namun rekahan pada
wajahku hanya sesaat. Ketika kembali menatap kursor yang berdetak, aku kembali
menjadi patung. Merasa kosong.
Suara adik perempuanku terdengar sekilas.
Suara adik perempuanku terdengar sekilas.
“Eh, serius dia mereka jadian? Ya ampun,
naip banget sih! Bilangnya nggak mau, eh nggak tahu nya di embat juga.” Senyum kembali tercetak di wajahku. Dasar
si bocah labil, bahkan ia salah melafalkan kata naïf. Dan kurasa ia salah
menempatkan kata itu. kata yang lebih tepat untuk kalimatnya barusan adalah
‘munafik’ bukan?
Ah… sesuatu dalam diriku terbit. Anganku berkelebat pada percakapan yang terjadi hampir setahun yang lalu. Dalam suasana yang sama, rasa kurang yang sama, dan kehampaan yang sama.
Ah… sesuatu dalam diriku terbit. Anganku berkelebat pada percakapan yang terjadi hampir setahun yang lalu. Dalam suasana yang sama, rasa kurang yang sama, dan kehampaan yang sama.
“Lu sebenernya normal nggak sih Del?”
Pertanyaan itu membuat alisku berkerut dalam.
“Maksud lu?”
“Lo nolak Agung? Cowok yang udah
ngejar-ngejar lo selama 5 tahun! Dan lo terus-terusan jomblo dari lo lahir
sampe sekarang. Makanya gue tanya, lo normal nggak sih?” Dengan adannya
penjelasan ini, aku justru ingin tertawa, miris. Kutatap sahabatku yang satu
ini. Pada jilbabnya yang menutupi kepala, dan matanya yang lentik khas bangsa
Aria. Dari dulu aku ingin seperti dia, yang terbiasa menutupi apa yang menjadi
aurat kami, para kaum hawa. Namun sang waktu datang dan menghapus segala
hasratku untuk menirunya. Bukan soal jilbab, tapi sikap yang ia tuntut padaku.
“Kenapa gue harus nerima Agung?” Aku
bertanya balik.
“Ya… lo bilang, lo kagum sama dia kan?
Kalo gitu kenapa kalian nggak pacaran?”
“Entah, gue juga nggak tahu kenapa.
Rasanya aneh aja mungkin Allah emang nggak mengijinkan gue untuk melakukan
itu.” Jawabku jujur, sama sekali tidak bermaksud sok suci. Aku juga bingung,
saat hati ini terpaut pada seseorang ia pasti berakhir dan patah. Atau saat ada
cinta yang menyapa, aku tidak berniat membalasnya. Kini, ada satu yang kusukai,
dan ia pun menaruh hati padaku. Tapi aku tetap tidak bisa menerima satu
hubungan yang lebih dari teman. Entah…
“Yee, nggak napa kali, sekali dua kali
pacaran. Nikmatin masa muda lo, gue juga nggak mau punya temen apel makan
apel.”
Aku benar-benar meringis. Ia teman
kecilku, yang harusnya tak berubah meski jarak memisahkan. Namun sepertinya
kami tidak lagi satu pikiran. Ia berusaha mendobrak apa yang kupertahankan dengan penampilannya yang kukagumi itu. Ini mengecewakan.
Kembali ke masa kini. Jilbab melindungi tidak hanya
kepalaku, namun juga keseluruhan jiwa. Namun aku juga tak ingin jadi
munafik. Percakapanku dengan sahabatku setahun yang lalu membawa hati ke
pusat hampa. Apakah ini karena seorang lelaki? Iya, benar. Aku manusia, yang
diciptakan dengan kasih sayang oleh sang maharaja cinta. Meski sedikit, aku
juga mempunyai rasa itu. Munafik kalau
aku bilang tak merindukan satu orang pun.
Mataku terpejam, bertanya pada hitam
sosok yang aku rindukan. Siapa? Agung kah? Atau orang yang lain? Satu yang sudah
ditakdirkan oleh Allah untuk menjadi jodohku. Kalau memang ada, ia sedang apa?
Apakah ia juga sedang memikirkan aku? Calon istrinya di masa depan. Akankah datang saat dimana aku memasak untuknya? Seperti yang sedang ibuku lakukan sekarang. Pikiranku
melantur, menimbulkan sedikit debaran untuk tulang rusuk yang belum kutahu
jelas bagaimana rupanya.
Kubuka mataku dan menatap pada layar
laptop yang kini memunculkan gambar selain putih dan biru. Nama Allah, Dzat
yang saat ini paling kucintai. Aku tersenyum. Ya Allah, kupasrahkan hampa ini
padamu. Kalau memang ini adalah ujianku untuk mendapatkan apa yang telah kau
janjikan. Gadis yang baik, akan mendapatkan lelaki yang baik pula. Biar itu
yang menjadi peganganku saat ini.
Aku menarik seluruh lenganku ke atas.
Mebiarkan tulang-tulangku bergemeletuk untuk perenggangan. Bahuku menegak dan
jemariku kuletakan di atas keyboard. Baiklah hampa, aku akan buat definisi baru
untukmu, yaitu inspirasi! Kusentuh path laptop dan gambar biru putih
mendominasi layar lagi. Kali ini, aku siap untuk menulis sesuatu.
Alantika
Putri
Cilodong,
28 oktober 2013
Komentar
Posting Komentar
Yok, yang mau komen harap sopan ya~
Kalau tidak sopan pemilik blog berhak untuk menghapus komentar tersebut.
Terima kasih~