Langsung ke konten utama

FAST ZERO

Terinspirasi dari film Fast and Furious. Mungkin ini bisa di sebut fanfic. Yah, sebelumnya gue harus minta maaf karena mungkin ceritanya akan sedikit melenceng dari keseruan Fast and Furious. Kenapa? karena gue menggunakan tokoh utama wanita. 
Oke deh, selamat membaca dan di tunggu komentarnya. :D


FAST ZERO 

Jacksonville, Florida. Kota di wilayah Amerika bagian tengah. di sanalah aku mendarat pukul 14.06 waktu setempat. Kukira bandara akan sepi karena ini bukan waktu libur. Tapi ternyata aku salah. Hellooow, ini Amerika. Ada miliaran orang yang pulang pergi bukan hanya untuk berlibur. Tapi yah, seramai-ramainya Amerika tak akan bisa mengalahkan keramaian jalan Jakarta di waktu-waktu berangkat kerja.
Oh, ngomong-ngomong namaku adalah Julia M. Shadila. Mendapat beasiswa AMINEF untuk  sekolah menengah atas Jacksonville. Detilnya adalah ketika ayahku yang keras kepala akhirnya mengizinkanku untuk memilih sekolah sendiri. Aku ini bukan gadis yang bisa bersikap manis. Malah, julukan yang kudapat ketika baru masuk sekolah adalah ‘setan jalanan’. Itu merujuk pada kesenanganku balapan motor. Heiii, jangan sekali-kali berpikir kalau aku ini adalah ‘piala bergilir’ untuk para juara balap. Hobiku, balap motor, jadi ‘aku-lah’ yang mengendarai motor. Aku mengikuti kakak sepupuku Toni sejak kelas 2 SMP. Meski begitu ia selalu menjagaku dari ‘incaran’ teman-temannya. Sempat uring-uringan karena aku tertarik mengendarai motor, tapi akhirnya dia harus mengakui kalau aku cukup hebat mengendarai mesin roda dua itu.
Saat ayahku tahu tentu saja dia marah besar. Ia langsung menjauhkanku dari monster ramping yang kusebut Repsol. Tapi toh ia selalu kerja, jadi setiap malam aku selalu menyelinap keluar untuk ikut balapan bersama Toni. Saat masuk SMA kelakuanku makin parah—aku sengaja melakukannya. Hasilnya aku dikeluarkan dari dua sekolah negeri dan satu sekolah swasta dalam rentang waktu 8 bulan. Ayah hampir menyerah atas kelakuanku. Tetapi sebagai seorang ayah, mana bisa ia melakukannya. Saat itulah aku mencoba bernegosiasi dengannya.
Kubujuk ia untuk membiarkan aku sekolah di Amerika. Tidak perlu membiayai penuh, aku berjanji akan mencari beasiswa sendiri. Aku tidak akan keluyuran malam lagi, aku akan jadi anak baik. Jelas ia tidak langsung mengiyakan. Aku kembali dimarahi habis-habisan. Katanya, ‘Di Jakarta saja kamu ndak bisa diatur, apalagi ke Amerika!’. Yah, aku ini bukan tipe yang gambang menyerah. Setelah beberapa hari melakukan perdebatan dan pembicaraan alot, akhirnya ayah mengijinkan aku meninggalkan Jakarta untuk merantau ke Jacksonville.
Kalau kau kira aku ini gadis beruntung itu salah besar. Karena dipastikan aku tidak akan menikmati masa-masa sekolah disini. Tentu saja aku punya alasan bagus untuk pindah ke Jacksonville. Kenapa? Karena ibu kandungku ada disini. Mungkin.
***
Aku melewati tempat pengecekan barang dan mengambil koper serta carier. Dua penjaga tersenyum ramah padaku. Mungkin itu standar operasional bekerja di pintu keluar bandara. Tetap saja aku merasa kalau mereka tertawa karena  carier yang kubawa. Biasanya orang tidak akan pakai carier untuk berpergian keluar negeri. Aku tidak peduli, toh mungkin disini aku akan mendaki gunung. Salah satu kegiatan kegemaranku. Setelah sampai di muka bandara aku melambai pada taxi berwarna kuning. Mengingatkanku pada film action yang sering di tonton ayah dulu.
“Bisa antarkan aku kesini.” Ucapku dalam bahasa Amerika.
Si supir mengiyakan dan segera meluncur begitu aku masuk. Saat di dalam taxi aku diam saja. Sangat penting untung bersikap tenang di negeri asing meskipun kau tidak tahu benar jalan yang sedang kau lewati. Hampir 18 menit ketika akhirnya taxi itu berhenti di depan rumah besar berwarna coklat. Seperti khasnya rumah-rumah di Jacksonville, ia memiliki pagar kayu setinggi pinggang manusia. Tingkat kriminalitas di kota ini pastilah sangat rendah. Setidaknya untuk pencurian. Kalau memang sering terjadi pasti penduduknya sudah memagar rumah mereka tinggi-tinggi. Tidak lupa diberi kawat seperti rumah ayahku di Jakarta.
7 meter di samping kanan dan kirinya terdapat rumah lain. Terus berderet hingga membentuk komplek. Sebelum turun aku mengucapkan terima kasih sembari memberikan beberapa dolar pada pengemudi. Sekilas aku melihat ke papan alamat yang tergantung di samping pintu pagar. Sepengelihatanku sih, aku sudah pergi ke tempat yang benar. Perlahan aku membuka pagar dan mendekat pada pintu seraya menekan bell.
“Mrs. Park Shin Young?” Tanyaku langsung begitu wanita bermuka oriental keluar dari rumah.
“Ya. Julia?” Ia bertanya balik dan aku mengangguk. Dalam sekejap aku sudah dipeluknya. Sulit untuk balas memeluk karena Mrs. Park punya ukuran badan ehm—besar. Beruntung ia langsung melepaskan aku di detik ketiga. Ternyata ia cukup pengertian. Ia langsung membawaku ke dalam rumah. Mengoceh panjang lebar tentang kegembiraannya melihatku datang. Ia sangat mengharapkan anak asuh dari Indonesia dan bersyukur bisa mendapatkan aku. Meskipun statusku disini adalah ‘penumpang’. Kondisi keuanganku sebenarnya cukup untuk sekolah diluar negeri. Tetapi karena masalahku dengan ayah aku memutuskan untuk tidak menggunakannya dan memilih mencari beasiswa. Soal Mrs. Park juga. Aku mencari organisasi orang tua asuh Amerika yang membuka rumahnya untuk penerima beasiswa. Beruntung aku dikenalkan dengan Mrs. Park oleh Toni.
“Toni sangat beruntung mempunyai saudara sepertimu. Dan untuknya aku akan menjagamu dengan baik.” Ocehnya sembari menghidangkan teh di atas meja.
Mrs. Park sendiri adalah wanita berkebangsaan Korea yang memilih menetap di Jacksonville. Ia pernah punya suami dan anak. Tapi karena masalah rasisme sang suami membawa anak mereka pindah ke Arlington dengan ibu baru. Ketika mendengar cerita ini aku benar-benar merasa kesal. Kalau memang tidak bisa menerima ras kenapa harus menikah? Ini adalah pertanyaan yang tidak bisa aku tanyakan ke Mrs. Park. Dan sepertinya ia tidak ingin masalah ini dibicarakan lagi. Dengan datangnya aku, dia sudah cukup terhibur.
Setelah tiga puluh menit bercakap-cakap Mrs. Park menunjukan kamarku. Letaknya ada di lantai atas. Ukurannya sama seperti kamarku di Jakarta. Namun ornamen dan warna dindingnya mengingatkanku pada musim gugur. Coklat kekuningan. Dengan furniture kayu untuk lemari, tempat tidur berikut dan meja belajar. Bagian yang paling kusukai adalah jendela cekung di dinding  utara. Bentuknya menjorok keluar dan memungkinkan aku untuk duduk dipinggir jendela tersebut. hebatnya, Mrs. Park sudah menyiapkan karpet beludru dan bantalan duduk. Ternyata ia dengar kalau aku sangat suka melihat hujan lewat kaca jendela. Jadi ia menyiapkan perlengkapan itu untuk kenyamananku. Sekejap aku memeluknya dan menucapkan terima kasih. Rasanya nyaman, sangat berbeda dengan ketika ia memeluku.
“Beristirahatlah. Aku akan siapkan makan malam.” Kata Mrs. Park meninggalkan aku di dalam kamar.
Setelah ia pergi aku duduk di pinggir tempat tidur sembari membuka koper. Ini saatnya untuk membongkar muatan. Di bagian paling atas aku menemukan foto orang yang ingin kucari, foto ibuku. Matanya bulat berwarna hitam seperti miliku. Rambutnya juga memiliki warna yang sama. Namun, di dalam foto rambut ibuku bergelombang. Sedangkan aku lurus. Hanya itulah perbedaan kami. Selebihnya, wajah kami mirip. Hidung yang tak terlalu mancung, bibir yang seperti sampan dan bulu mata lentik pemanis wajah. Bahkan satu tahi lalat di atas hidung ibu, aku juga memilikinya. Aku tersenyum ketika berpikir mengapa itu bisa terjadi. Ia kelewat mirip denganku, jadi, aku pasti bisa menemukannya dengan mudah. Tunggu saja.
***


Bersambung ke Fast Zero Page 2.

Kalo mau copas ijin dulu yak. Dan tolong banget, komentarin karya gue. Mau kritik juga gapapa, asal nggak maki-maki pake kata-kata 'kurang pantas' aja. Hehehehehe,
 Salam,
LanLane

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANTANGAN TEMEN : PACARAN

Jujur saya memang ingin menulis tentang 'pacaran'. Apalagi setelah beberapa temen saya menantang, semangat saya jadi berkobar-kobar. Tapi, sebelum lanjut baca ke bawah, saya minta, kalian para sobat membuka pikiran selebar-lebarnya. Karena mungkin tulisan ini akan mengandung beberapa kontra. Eh, gimana deh?  Cekidot! Saat temen saya tanya soal pacaran, hal pertama yang saya lakuin adalah browsing . Maaf, bukan berarti saya nggak ngerti soal tema yang akan dibahas. Tapi karena saya mau mencari beberapa pendapat umum soal pacaran. ;D Hasilnya saya menemukan kalimat ini di Wikipedia : Pacaran merupakan proses perkenalan antara dua insan manusia yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang dikenal dengan pernikahan. Pada kenyataannya, penerapan proses tersebut masih sangat jauh dari tujuan yang sebenarnya. Manusia yang belum cukup umur dan masih jauh dari kesiapan memenuhi persyaratan menuju pernikahan telah denga...

Dilema Pemimpin Hadapi Covid Nineteen

Sejak pasien positif virus Corona diumumkan pada dua maret, jumlah korban terus bertambah. Per tannggal hari ini, Senin, 30 April 2020, sudah tercatat 1.414 orang positif mengidap virus tersebut. Jumlah pasien yang sembuh mulai menanjak naik di angka 75. Sementara jumlah korban meninggal masih di angka mengkhawatirkan, yaitu 122.

Misconceptions About Jihad

Culture, Social, Political, and Security In the Name of Allah, the Most Compassionate, the Most Merciful. And for Rasulullah Muhammad SAW, piece be upon him. At the beginning,  I should like to sincerely thank for your coming in this blog. In this changes I want to talk about jihad.  Have you ever heard about that before? I assume you are thinking about something wrong about that. The Arabic word "jihad" is often translated as "holy war”. However in a purely linguistic sense, the word " Jihad/Jahada” in Arabic means struggling or striving or make an effort. So, there are misunderstood concept about Jihad. The concept of ‘Jihad’ has been misconceptions is not among muslims but among non muslim also. There are political and religious groups who using ‘Jihad’ for their benefit, to justify various forms of violence. And if you hear the news about terrorism, sometimes you feel scary or inflamed your temper. And you’ll asking, why? Why they do that? Why ...