Langsung ke konten utama

FAST ZERO Page 3

Brandon hanya basa-basi. Karena setelah tiga hari sejak kami mengobrol dia tidak pernah menegurku lagi. Aku sih tidak masalah. Cowok pupuler macam dia jelas hanya punya sedikit waktu untuk mahluk sepertiku. Meskipun aku tampil baik di kelas olahraga tak lantas membuatku masuk ke kalangan anak-anak terkenal. Beruntung, karena memang aku ingin menjadi anak yang jauh dari lampu sorot.

            Ini sudah hari ke-empatku di sekolah. Penampilanku seperti biasa dengan jeans belel hitam kaus dan kemeja flannel. Oh, ditambah mantel karena hari ini hujan turun lumayan deras. Rambutku yang lurus sebahu dikuncir kuda. Luna menyambutku di ambang pintu kelas. Lalu ia bercerita tentang film action favoritnya yang tayang tadi malam. Kudengarkan ia dengan malas-malasan. Sengaja berlama-lama ketika menggantung mantel hujan kami. Semakin banyak aku bergerak, semakin sedikit interaksi mataku dengannya. Jadi dia tidak melihatku yang kurang fokus.

Kali ini aku tidak duduk berserongan dengan pria Meksiko. Karena Isabella mendadak ingin pindah ke belakang. Aku hanya tersenyum sopan sembari pindah ke kursinya. Sikapku ini benar-benar seperti pecundang sejati. Biarlah…

            “Hey Julia. Kau juga diundang Brandon ke acara pesta minggu ini, kan?” Christa bertanya.

Aku mengangguk nurut.

            “Bagus, kami punya kejutan untukmu.” Lanjutnya sembari tersenyum. Aku tahu itu bukan senyum ramah. ‘Kejutan’ yang ia maksud pasti tentang rencana-rencana gila untuk mengerjaiku. Aku mengerti, pergaulan disini sangat parah. Kata Mrs. Park, ia akan mengawasi pesta minggu ini. Jelas ia khawatir. Para remaja di sekolah sering bersikap tidak rasional. Jadi untuk jaga-jaga Mrs. Park akan menyewa polisi yang akan mengintai kami.

            “Semacam pesta penyambutan untuk murid baru.” Sahut Isabella dari belakang.

            Kulirik Luna, ia sedang menatapku dengan pandangan kasihan. Aku mendesah dan beralih ke arah Christa. Tapi mataku menangkap Tanya yang diam saja menatap bangku. Seolah tidak peduli dengan obrolan ‘mari buli Julia ramai-ramai’. Andrew Mizcovict nyengir padaku. Ia adalah teman satu geng Brandon. Tampangnya sangar dengan senyum khas pembuat onar. Meski begitu banyak wanita yang tertarik padanya. Mereka kira menaklukan singa gunung—Andrew—itu keren dan bisa meningkatkan pamor.

Kalau dugaanku tepat, sepertinya ia sedang mengincarku. Koleksi gadisnya akan bertambah satu yang berasal dari Asia. Itu kalau memang dia berhasil. Sayangnya, maaf Andrew, aku tidak punya niat pacaran. Apalagi dengan preman plaboy sepertimu.

            “Apa itu memang diharuskan? Pesta penyambutan? Bukankan itu untuk ulang tahunmu, Isabella?” Dengan santai aku menengok ke arah Isabella. Ia nampak kaget dengan reaksiku yang biasa-biasa saja. Wajahnya sedikit muram ketika menjawab.

            “Ya, itu ulang tahunku. Jangan lupa bawa hadiah ya.”

            “Aku punya kejutan untukmu.” Ucapanku meng-copy kata-kata Christa. Dan itu memancing tawa kecil dari seluruh penghuni kelas.

***

            “Itu gila! Julia, kamu bisa jadi sasaran Bella!” Celoteh Luna ketika jam makan siang. Kami memilih makan di pojok kantin. Tempat yang jauh dari meja khusus para ratu dan pangeran. Kugigit roti keju dan memilih diam. Yang kupikirkan sekarang bukanlah pesta malam minggu. Tapi tentang museum kota. Hari ini aku harus pergi kesana.

            “Hari-hari yang bagus di Beyerns, Julia.” Cowok berkacamata dengan badan kurus duduk di depanku. Disampingnya ikut duduk cewek berbadan gemuk dengan rambut sewarna strawberry. Ben dan Chessy, teman sekelas kami.

            “Beyerns?” Tanyaku bingung.

            “Nama keren untuk sekolah kita. Kakak Bella yang mempopulerkannya. Sekarang ia sudah masuk kuliah ke Harvard.” Chessy menjelaskan.

            “Oh.” Aku kembali mengigit roti dan mengunyahnya.

            “Kau sangat tenang untuk ukuran murid baru yang berbadan mungil.” Komentar Chessy.

            “Dan berasal dari negeri antah berantah.” Ben menambahkan.

            “Bukan antah berantah, itu In-do-ne-sia.” Aku meralat. “Kalian akan ternganga kalau lihat keindahan alamnya.”

            Dua orang di depanku tertawa kecil memaklumi.

            “Bali memang sangat keren.” Luna bicara. Kini ia sudah tidak meledak-ledak seperti tadi. Aku hanya nyengir. Kenapa mereka hanya tahu Bali? Padahal ada ribuan tempat lain yang bisa mereka kunjungi.

            “Kau harus hati-hati dengan pesta penyambutan. Waktu SMP aku satu kelas dengan Christa dan saat itu kami juga kedatangan murid baru. Kejadiannya persis sepertimu. Ia sedang ulang tahun dan sekalian membuat pesta penyambutan untuk Daniella.” Chessy bercerita.

            “Singkat cerita gadis malang itu pulang dalam keadaan mabuk berat.” Selak Luna.

            “Kasihan sekali. Karena itu Daniella harus dihajar oleh ibunya.” Ben tak mau kalah. Seperti yang kuduga, karakter mereka sangat berbahaya. Kalau dimasa SMP mereka bisa membuat orang lain mabuk, apa lagi sekarang. Apakah aku harus membawa pisau lipat? Tidak.

            “Kenapa tersenyum? Kau nggak takut?” Chessy menatapku dengan alis berkerut.

            “Takut sih. Tapi aku lebih takut pada diriku sendiri.” Kataku pada akhirnya. “Sebenarnya aku nggak begitu ahli dalam berurusan dengan orang lain. Tapi kadang aku bisa jadi kreatif untuk menyelamatkan diri sendiri. Kalian nggak perlu khawatir, thanks.” Aku menyeruput susu coklat dari sedotan.

            “Hey, itu Jacob Clyone.” Bisik Luna saat melihat siapa yang baru saja masuk ke kantin. Mau tidak mau aku juga ikut menatap lelaki Meksiko yang di panggil Jacob. Dia tipe yang cukup tenang di kelas. Mungkin satu-satunya yang bisa mengalahkan Brandon. Namun, dia lebih suka diam dengan buku-buku komiknya. Atau kadang sibuk dengan mesin motor di bengkel sekolah. Bukan berarti dia tak ramah. Sekali dua kali aku pernah melihatnya tersenyum saat berbicara dengan beberapa gadis.

            “Kali ini dia nggak bersama Tom.” Ben menyendok saladnya.

            “Sudah ah, jangan bahas mereka lagi.” Chessy merengut.

            “Kenapa? Kau kecewa idolamu menjadi gay.” Luna meledek dengan nada kecil. Serta merta aku menengok pada Luna. Jacob Cylone adalah gay?

            “Gosipnya sih seperti itu. Akhir-akhir ini dia dekat dengan Tom yang jelas-jelas mengaku gay. Kau tahu, kan? Tom Delton.” Lanjut Luna. Aku mengangkat bahu. Semakin hari gosip yang kudapat di sekolah ini semakin banyak. Tapi diantara semuanya, aku paling kecewa dengan gosip barusan. Entahlah, mungkin karena aku tertarik pada Jacob Cylone.

***

            Wajah Jacob masih terngiang bahkan saat aku berjalan menuju museum kota di Riverwalk. Yang paling kuingat adalah tatapan mata dan warna kulitnya. Ia selalu melihat dengan tajam dan fokus. Ada kesan berwibawa yang kutangkap dari caranya menatap orang-orang. Warna kulitnya adalah warisan khas suku asli Amerika. Bukan putih pucat melainkan coklat. Seperti warna sawo matang, mungkin? Makanya kubilang ia lebih mirip orang Asia ketimbang bule Amerika. Tapi postur dan otot-ototnya memang membuktikan dia adalah orang asing. Kalau bahu samping kanannya diberi tattoo, dia sangat mirip dengan tokoh manusia serigala di novel romansa milik Luna. Sayangnya, hari ini aku harus tahu kalau dia adalah gay.

            “Selamat sore, ada yang bisa saya bantu.” Sapa wanita kulit hitam yang menjaga di front.

            “Apa bagian sejarah memiliki tim arkeolog sendiri?”

            “Dulu kami punya, tapi sudah tidak lagi. Sekarang kami mengedepankan pameran sains dan penampakan bintang-bintang.”

            “Berapa jumlah arkeolog yang Jacksonville punya dan kemana mereka dipindahkan?”

            Si penjaga nampak berpikir sejenak.

“Ini untuk tugas sekolah. Anda tahu, Bayerns.” Tambahku dengan senyum kecil. Aku tahu penjaga ini sedang menimbang-nimbang keperluanku bertanya.

 “Beberapa dikirim ke badan arkeologi nasional dan ada juga yang membuka penelitian pribadi. Jumlah arkeolog kami sangat sedikit hanya 4 orang.” Akhirnya ia menjawab.

“Aku harus melakukan penelitian sejarah dan mewawancarai orang ini. Apa anda pernah melihatnya?” Aku mengeluarkan selembar foto.

“Bukankah ini kamu?” Si penjaga nampak tersenyum sungkan. Tapi begitu ia memperhatikan lebih jauh, matanya langsung membulat. “Sophia Shadie. Ya ampun, pantas dari tadi aku pikir kau sangat mirip dengan seseorang. Ternyata Sophia.”

“Anda kenal?” Aku tak bisa menyembunyikan mimik gembira.

“Ya, dia sangat baik dan pintar. Sempat mengajari aku tentang dasar-dasar ilmu arkeologi. Dia siapamu? Kalian nampak sangat mirip.”

“Kebetulan mirip. Aku juga terkejut dan jadi tertarik untuk mewawancarainya. Apakah kau bisa memberitahu dimana ia tinggal?” Aku mengeluarkan bolpoint. Namun ternyata Sophia sudah tidak tinggal di kota.

“Ia ikut penelitian gabungan para arkeolog dari Michigan. Tapi memang ia menetap disini. Alamatnya di Carolus Bay, 20 kilo dari sini. Mungkin dia akan kembali dalam waktu dua atau tiga tahun lagi.”

“Aku tidak akan bisa mewawancarainya. Tugasku nggak akan mau menunggu dua atau tiga tahun. Apa kau sangat dekat dengannya? Bolehkah aku bertanya-tanya padamu tentang kepribadiannya?” Semangatku menggebu. Jelas aku tidak akan melewatkan kesempatan untuk lebih dekat dengan ibuku sendiri.

“Aku hanya sekilas mengenalnya, sayang.” Penjaga itu menatapku dengan perasaan bersalah. “Tapi kau bisa pergi ke kantor pos di ujung jalan ini. Raven mengenalnya dengan sangat baik.”

“Raven?”
            “Troy Raven, pengantar surat di kota.”

“Oh, baik. Terima kasih, maaf merepotkan.” Ucapku mengakhiri percakapan. Lalu pergi kedalam untuk melihat ruang sejarah. Ini untuk menciptakan kesan bahwa aku tertarik dengan sejarah. Sebenarnya aku suka dengan sejarah. Namung setiap aku mempelajari sejarah ingatanku langsung lari ke sosok ibu. Hal itu mebuatku berhenti di tengah-tengah. Sekarang aku sudah bertekad menemukan wanita yang membuangku. Meskipun saat bertemu nanti aku tidak tahu apa yang akan aku katakan.

Aku baru keluar dari museum pukul 16.25. Menyapa lagi wanita kulit hitam yang tadi memberikan informasi tentang Troy Raven. Masih ada sisa waktu beberapa menit sebelum aku harus pulang. Kuputuskan untuk pergi ke kantor pos dan menemui Raven. Tapi sebelum aku sampai, mataku menangkap sosok yang baru saja dibicarakan hari ini. Jacob Cylone? Ia bersama dengan seorang lelaki kulit putih yang kutahu bernama Tom Delton. Oke, ini bukan urusanku kalau memang mereka benar-benar berkencan. Kupaksakan kaki untuk lanjut berjalan ke kantor pos. Tetapi rasa penasaranku jauh lebih kuat. Dalam sekejap aku sudah berbelok arah mengikuti kedua cowok itu pergi ke sebuah gang.

“Oh! Jangan ikut campur urusan orang!” Desisku untuk diri sendiri. Sayangnya kakiku tak mau berhenti. Membuntuti dua orang itu sampai ke pinggir kota. Melewati beberapa jalan sempit dan pekarangan rumah orang. Mereka tidak sadar kalau sedang dibuntuti oleh gadis aneh yang berasal dari negri antah berantah. Baguslah, mungkin saja mereka juga tidak menyadari keberadaanku di kota. Lima belas menit aku membuntuti mereka, akhirnya mereka berhenti di suatu tempat. Rumah yang sebagian terbuat dari kayu-kayu hutan. Namun pondasinya terbuat dari batu kali. Mereka bercakap sebentar dan kulihat Jacob nyengir. Menepuk pundak Tom lalu menyuruhnya untuk membuka pintu garasi.

“Hei nona. Ada perlu di pondok kami?” Suara di belakangku membuatku terlonjak. Aduh! Aku memegangi kepala. Mendadak kepalaku sakit.

            “Bicara denganku?” Aku berusaha sebaik mungkin menunjukan senyum tanpa rasa bersalah. Hebat. Dua pria berbadan besar di belakangku sedang nyengir lebar. Di detik kemudian aku digiring mereka mendekat ke pondok.

Bersambung ke Fast Zero Page 4.

Kalo mau copas ijin dulu yak. Dan tolong banget, komentarin karya gue. Mau kritik juga gapapa, asal nggak maki-maki pake kata-kata 'kurang pantas' aja. Hehehehehe,

 Salam,

LanLane

Komentar

Posting Komentar

Yok, yang mau komen harap sopan ya~
Kalau tidak sopan pemilik blog berhak untuk menghapus komentar tersebut.

Terima kasih~

Postingan populer dari blog ini

TANTANGAN TEMEN : PACARAN

Jujur saya memang ingin menulis tentang 'pacaran'. Apalagi setelah beberapa temen saya menantang, semangat saya jadi berkobar-kobar. Tapi, sebelum lanjut baca ke bawah, saya minta, kalian para sobat membuka pikiran selebar-lebarnya. Karena mungkin tulisan ini akan mengandung beberapa kontra. Eh, gimana deh?  Cekidot! Saat temen saya tanya soal pacaran, hal pertama yang saya lakuin adalah browsing . Maaf, bukan berarti saya nggak ngerti soal tema yang akan dibahas. Tapi karena saya mau mencari beberapa pendapat umum soal pacaran. ;D Hasilnya saya menemukan kalimat ini di Wikipedia : Pacaran merupakan proses perkenalan antara dua insan manusia yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang dikenal dengan pernikahan. Pada kenyataannya, penerapan proses tersebut masih sangat jauh dari tujuan yang sebenarnya. Manusia yang belum cukup umur dan masih jauh dari kesiapan memenuhi persyaratan menuju pernikahan telah denga...

Dilema Pemimpin Hadapi Covid Nineteen

Sejak pasien positif virus Corona diumumkan pada dua maret, jumlah korban terus bertambah. Per tannggal hari ini, Senin, 30 April 2020, sudah tercatat 1.414 orang positif mengidap virus tersebut. Jumlah pasien yang sembuh mulai menanjak naik di angka 75. Sementara jumlah korban meninggal masih di angka mengkhawatirkan, yaitu 122.

Misconceptions About Jihad

Culture, Social, Political, and Security In the Name of Allah, the Most Compassionate, the Most Merciful. And for Rasulullah Muhammad SAW, piece be upon him. At the beginning,  I should like to sincerely thank for your coming in this blog. In this changes I want to talk about jihad.  Have you ever heard about that before? I assume you are thinking about something wrong about that. The Arabic word "jihad" is often translated as "holy war”. However in a purely linguistic sense, the word " Jihad/Jahada” in Arabic means struggling or striving or make an effort. So, there are misunderstood concept about Jihad. The concept of ‘Jihad’ has been misconceptions is not among muslims but among non muslim also. There are political and religious groups who using ‘Jihad’ for their benefit, to justify various forms of violence. And if you hear the news about terrorism, sometimes you feel scary or inflamed your temper. And you’ll asking, why? Why they do that? Why ...